REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam mengajarkan pentingnya sikap bertanggung jawab. Salah satu wujud perilaku itu adalah bersedia memenuhi kewajiban yang sudah ditentukan atau disepakati.
Bagi pihak debitur, misalnya, keharusan itu dapat berarti membayar utang tepat pada waktunya.
Islam membolehkan umat untuk berutang guna memenuhi kebutuhan. Namun, meminjam dana dari pihak atau orang lain bukanlah sebuah gaya hidup.
Di antara pelbagai doa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW adalah sebagi berikut.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ
(Allahumma inni a'uudzu bika min al-ma'tsami wa almaghram.)
Artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari berbuat dosa dan lilitan utang.”
Suatu ketika, Nabi SAW ditanya mengenai doa dengan kalimat tersebut. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau banyak meminta perlindungan kepada Allah dari perkara utang?” ujar seorang sahabat. Maka, beliau menjawab dengan tegas:
إنَّ الرَّجُلَ إذَا غَرِمَ، حَدَّثَ فَكَذَبَ، ووَعَدَ فأخْلَفَ
“Sungguh, seorang apabila sedang berutang ketika berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering mengingkarinya.”
Maka dari itu, disiplin dalam membayar utang dapat menghindarkan seseorang dari tabiat gemar berbohong.
Dengan memenuhi kewajiban yang ada, ia tidak hanya melegakan hatinya sendiri, melainkan juga orang lain, yakni yang memberikan pinjaman kepadanya.
Rasulullah SAW sudah mengingatkan umatnya. Ketika mereka berutang, segeralah lunasi kewajiban tersebut.
Jika seseorang sengaja melambatlambatkan pembayaran utang, sungguh ia telah melakukan dosa.
Barang siapa yang mengambil harta manusia (berutang) dengan niat ingin melunasinya, maka Allah SWT akan (memudahkan) melunaskannya.
Dan barang siapa yang berutang dengan niat ingin merugikan seseorang (si pemberi utang), Allah SWT akan membinasakannya, sabda Nabi SAW.
Ada pula sebuah kisah ketika Rasul SAW sempat tidak mau menshalati jenazah seorang Mukmin yang gugur di medan jihad. Sebab, almarhum diketahui masih memiliki utang. Demikianlah isyarat tentang beratnya dosa melalaikan pembayaran utang.
Boleh jadi, seseorang yang sengaja mengabaikan pembayaran utang merasa untung. Sebab, ia seperti mendapatkan dana 'gratis' dengan jalan menolak tagihan terus-menerus. Namun, kelak dirinya termasuk golongan yang sangat merugi di Hari Pengadilan.
Di akhirat, orang yang berutang akan diambil pahala-pahala kebaikan yang telah dilakukannya di dunia.
Ganjaran kebajikan itu lalu diberikan kepada orang yang dahulu memberikannya utang. Jika pahala-pahalanya habis, maka keburukan-keburukan dari orang yang berpiutang dilimpahkan kepada orang yang berutang.