Senin 02 Sep 2024 14:54 WIB

Soal Larangan Jilbab, Dirjen HAM akan Kirim Tim ke RS Medistra

Larangan jilbab di RS Medistra bertentangan dengan nilai HAM.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Hafil
 Larangan jilbab di RS Medistra bertentangan dengan nilai HAM. Foto:  Dirjen HAM Dhahana Putra
Foto: Dok Republika
Larangan jilbab di RS Medistra bertentangan dengan nilai HAM. Foto: Dirjen HAM Dhahana Putra

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham, Dhahana Putra prihatin atas dugaan pelarangan penggunaan jilbab di RS Medistra. Tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi Indonesia.

Dhahana menyebut kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak fundamental yang diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, sementara Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memastikan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. 

Baca Juga

"Indonesia adalah negara yang beragam, dan keberagaman ini harus dijaga dengan sikap saling menghormati dan menghargai. Larangan penggunaan jilbab tidak hanya melanggar hak asasi, tetapi juga merusak nilai-nilai dasar yang kita junjung tinggi sebagai bangsa yang beradab," kata Dhahana dalam keterangannya, Senin (2/9/2024).

Dhahana menerangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM jelas mengatur setiap orang berhak untuk bebas memeluk agamanya dan beribadat menurut keyakinannya. Pasal 22 UU No. 39/1999 menegaskan negara harus melindungi HAM terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk dalam hal ekspresi keyakinan melalui cara berpakaian seperti penggunaan jilbab. 

Dhahana menegaskan pelarangan penggunaan jilbab di sektor layanan publik tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga mencederai semangat pluralisme dan toleransi yang merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia. 

"Sektor layanan publik, termasuk rumah sakit dan lembaga-lembaga pemerintah, seharusnya menjadi teladan dalam menghormati dan melindungi hak-hak individu, termasuk hak untuk menjalankan keyakinan agamanya secara bebas," ujar Dhahana.

Dalam menindaklanjuti isu ini, Dhahana bakal merencanakan pengiriman tim yang akan berkomunikasi langsung dengan pihak-pihak terkait di lapangan untuk memahami kondisi yang sebenarnya. Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa HAM, terutama kebebasan beragama, dihormati dan dijaga di seluruh sektor pelayanan publik.

"Jajaran kami akan turun langsung berkomunikasi dengan pihak Manajemen Rumah Sakit dimaksud untuk mendapatkan klarifikasi dan berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Jakarta Selatan terkait permasalahan ini, ujar Dhahana. 

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 5 menyebutkan pengusaha dilarang melakukan diskriminasi terhadap pekerjanya maupun calon pekerja yang ingin bekerja di perusahaannya. Sebab tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 

"Kami mengimbau semua pihak di sektor layanan publik untuk menghormati hak-hak beragama dan memastikan bahwa kebijakan internal mereka tidak diskriminatif atau melanggar hak asasi manusia," ujar Dhahana.

Sebelumnya, beredar di dunia maya surat yang tertulis dokter Diani Kartini bertanggal 29 Agustus 2024 ditujukan kepada Direksi RS Medistra. Surat tersebut menyangkut dugaan larangan berjilbab.

Atas viralnya hal ini, RS Medistra pada Senin (2/9/2024), menyampaikan permohonan maafnya terkait dugaan pembatasan penggunaan jilbab bagi dokter dan perawatnya. RS Medistra mempersilakan bagi siapapun yang ingin bekerja sama untuk melayani masyarakat di bidang kesehatan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement