REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi mengalami transformasi sosial yang pesat setelah dinahkodai oleh putra mahkota Muhammad bin Salman. Pengeran yang dikenal sebagai MBS ini telah memperkenalkan program reformasi besar-besaran yang dikenal sebagai "Vision 2030."
Program teesebut bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada minyak dan membuka ekonomi serta masyarakatnya. Namun, beberapa reformasi yang telah diterapkan, seperti mengizinkan perempuan untuk mengemudi, membuka bioskop, dan memperluas hiburan publik, bertentangan dengan pandangan konservatif ulama Wahabi yang sangat berpengaruh di Arab Saudi.
Dilansir dari Newyorktimes, hubungan ulama dan keluarga kerajaan sudah dimulai sejak berdirinya dinasti Saudi pada tahun 1700-an. Saat itu, keluarga kerajaan memerintah dengan arahan dari para ulama, yang melegitimasi kekuasaan mereka.
Aliansi ini bertahan hingga berdirinya negara Saudi modern oleh kakek MBS pada 1932, yang menjadikan kerajaan tersebut memiliki karakter Islam yang ketat. Para wanita menutupi tubuh mereka dengan gaun hitam, toko-toko tutup secara berkala sepanjang hari untuk sholat, alkohol dilarang, dan kejahatan berat dihukum dengan pemenggalan kepala.
Pengamatan publik terhadap agama apapun selain Islam dilarang, dan para ulama menjalankan sistem peradilan, yang menjatuhkan hukuman berat seperti cambuk dan penjara atas kejahatan seperti tidak menaati ayah dan murtad .
Namun, kini MBS telah melakukan sejumlah reformasi dan hubungannya dengan sebagian ulama Saudi pun mulai berubah. Lalu seperti apa hubungan rezim baru Arab Saudi dengan ulama Wahabi? Berikut fakta-faktanya:
Menangkapi ulama hingga aliansi dengan kubu reformasi..