Kamis 15 Aug 2024 19:15 WIB

Prof Deding Sebut Peraturan BPIP Disunat Kepalanya Sendiri

BPIP melarang jilbab bagi Paskibraka dengan alasan penyeragaman.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Drs KH Yudian Wahyudi.
Foto: Dok. BPIP
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Drs KH Yudian Wahyudi.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Yapata Al Jawami Bandung, Prof Deding Ishak menyampaikan bahwa sependapat dan memperkuat pernyataan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis yang menyatakan larangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan kebijakan yang tidak bijak, tidak adil, dan tidak beradab.

"Menurut saya pernyataan BPIP itu tidak Pancasilais dan inkonstitusional, karena tidak sesuai dengan nilai Pancasila, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Ayat 2 Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945," kata Prof Deding kepada Republika.co.id, Kamis (15/8/2024).

Baca Juga

Prof Deding mengatakan, negara menjamin setiap penduduk untuk melaksanakan agama sesuai agama dan keyakinannya. Menggunakan jilbab itu dalam rangka mengamalkan ajaran agama dan ini dijamin oleh konstitusi. Tapi kenapa malah dinegasikan. 

Ketua Komisi Hukum dan Hak Asasi Manusia Majelis Ulama Indonesia (HAM MUI) ini meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kepala negara dan kepala pemerintahan mengevaluasi Kepala BPIP yang selalu mengeluarkan pernyataan kontroversial. Menurutnya Kepala BPIP selalu keluarkan pernyataan kontra produktif dan berbahaya serta menimbulkan kegaduhan.

"Ini merugikan citra pemerintahan Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin yang ingin soft landing Khusnul Khotimah di hadapan Allah dan juga tentunya memberikan warisan yang baik sehingga dikenang bangsa ini," ujar Prof Deding.

Menurutnya, banyak yang telah dkerjakan oleh pemerintahan Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin dan bernilai baik dalam rangka kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Tapi aneh masih ada oknum pejabat di bawah presiden yang membuat statement dan kebijakan yang justru bertentangan dan secara tidak sadar melawan visi kebijakan program pemerintah Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin.

"BPIP telah melanggar aturan BPIP sendiri yaitu Peraturan BPIP RI Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka Bab VII Tata Pakaian dan Sikap Tampang Paskibraka," jelas Prof Deding.

Prof Deding menyampaikan kelengkapan dan atribut Paskibraka sebagai berikut. Pertama, setangan leher merah putih. Kedua, sarung tangan warna putih. Ketiga, kaos kaki warna putih. Keempat, ciput warna hitam (untuk putri berhijab). Kelima, sepatu pantofel warna hitam sebagaimana gambar di bawah. Keenam, tanda kecakapan/ kendit (dikenakan saat pengukuhan Paskibraka).

Prof Deding menegaskan, peraturan BPIP tersebut di sunat oleh Keputusan Kepala BPIP Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Tampang Paskibraka. 

"Bahwa pada poin empat ditegaskan pakaian ciput bagi yang berjilbab dihilangkan sehingga poin kelengkapan dan atribut Paskibraka hanya lima poin," ujarnya.

Prof Deding mengungkapkan, sungguh Naif sekali argumen Kepala BPIP dalam pernyataan kepala BPIP yang menyebutkan pelepasan jilbab hanya pada saat mengibarkan bendera. Pernyataan Kepala BPIP tersebut sangat menyakitkan karena telah bermain-main dengan ajaran agama. 

Selain itu, pernyataan tersebut juga merupakan bentuk pemaksaan untuk penyeragaman. Bertentangan dengan frase kebebasan beragama. Aturan itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya  berupa UU dan UUD serta Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

"Saya heran di akhir jabatan Jokowi ini banyak yang aneh-eneh, patut diduga ada kekuatan di luar pemerintah. Ada faktor eksternal yang terus mendesakkan kepentingannya, ini sangat berbahaya karena akan meruntuhkan kredibilitas pemerintahan Jokowi dan Kiai Ma'ruf Amin," jelasnya.

Prof Deding mengatakan, adik-adik Paskibraka yang bertanda tangan persetujuan tidak memakai jilbab berarti tidak boleh ikut mengibarkan bendera kalau masih menggunakan pakaian atribut keagamaan. Ini diskriminasi sebuah tindakan yang bertentangan dengan HAM dan Pancasila.

"Padahal, sila pertama Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya seluruh warga bangsa berhak dan dijamin negara untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing sesuai dengan keyakinan," ujarnya.

Prof Deding menegaskan, hal itu sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 yang menegaskan jaminan kebebasan beragama, dalam Pasal 28 E.

Sebelumnya, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi mengatakan, Paskibraka Putri memiliki kebebasan penggunaan jilbab di luar acara Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan. Tetapi dalam dua acara tersebut, kata Yudian, Paskibraka putra maupun putri harus mengikuti aturan.

“Penampilan Paskibraka Putri dengan mengenakan pakaian, atribut, dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada saat pelaksanaan tugas kenegaraan yaitu Pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada dan hanya dilakukan pada saat Pengukuhan Paskibraka dan Pengibaran Sang Merah Putih pada Upacara Kenegaraan saja,” kata Yudian dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Rabu (14/8/2024).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement