REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya penerjemahan Alquran ke berbagai bahasa telah dilakukan para ulama dengan ragam kontroversi yang menyertainya.
Di antara tokoh yang bergelut dalam penerjemahan sekaligus penafsiran Alquran ke dalam bahaya Melayu adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili. Namanya didapuk sebagai penerjemah Alquran pertama ke dalam bahasa Melayu di bumi Nusantara.
Syekh Abdurrauf menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu yang tertuang dalam kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid. Ulama asal Aceh tersebut memang dikenal sebagai sastrawan, sufi, sekaligus guru agama.
Pria yang lahir pada 1615 masehi atau 1035 Hijriyah itu bernama lengkap Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili. Ayahnya seorang ulama dari Arab Saudi sedangkan ibunya dari kota kecil di pantai barat Sumatra bernama Fansur atau Barus.
Ketika masih kecil, Syekh Abdurrauf mempelajari ilmu agama serta bahasa Arab dari ayahnya sendiri. Kemudian setelah remaja, ia pergi ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikannya.
Saat itu, Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Seperti diketahui, dibawah kepemimpinannya, Negeri Serambi Makkah mengalami masa keemasan sekaligus puncak kekuasaan.
Sultan Iskandar Muda juga sangat mendukung penyebaran Islam. Dengan begitu, agama ini turut berkembang pesat pada masa pemerintahannya.
Tidak berhenti di satu daerah, selanjutnya sekitar 1642, Syekh Abdurrauf berangkat ke Arab Saudi. Selain untuk menunaikan ibadah haji, ia juga berencana memperdalam keilmuannya.
Dirinya lalu pergi ke Yaman untuk menuntut ilmu di dua lembaga pendidikan bergengsi kala itu yakni Bait al-Faqih dan Zabid. Di Bait Al Faqih, Syekh Abdurrauf belajar dengan ahli fikih dan hadis seperti Ibrahim bin Abdullah bin Ja’man serta Ishak bin Muhammad bin Ja’man.
Syekh Abdurrauf sempat pula menimba ilmu di Madinah. Di negeri tersebut dia bahkan mendapat gelar khalifa tarekat Syatariah dan Qadiriyah, yaitu gelar yang menandakan pelajarannya selesai.
Di Makkah atau Madinah, Syekh Abdurrauf pernah menjadi guru yang mengajar banyak murid dari berbagai negara selama kurang lebih 19 tahun. Sembari mengajar, dirinya juga memanfaatkan waktu untuk menulis berbagai kitab.
Sampai akhirnya, dia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya pada 1661. Setibanya di Aceh, dirinya bertekad mengembangkan dunia pendidikan sekaligus Islam di sana.
Pada 1693 m atau 1105 Hijriyah, sang ulama besar itu menghembuskan nafas terakhirnya di usia 73 tahun. Dirinya kemudian dimakamkan di dekat muara sungai Aceh yang terletak sekitar 15 kilometer dari Banda Aceh.