REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Protes anti imigran di berbagai kota di Inggris dimanfaatkan kalangan ekstremis kanan untuk meningkatkan islamofobia. Menanggapi hal tersebut, Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai bahwa sedang terjadi polarisasi di dunia.
Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional MUI, Buya Bunyam Saptomo mengatakan, kerusuhan yang terjadi di Inggris menunjukkan dunia sedang tidak baik-baik saja. Dunia sedang mengalami polarisasi gara-gara masalah yang terjadi di Palestina, yakni zionis Yahudi menjajah Palestina.
"Media Barat yang umumnya dikuasai Yahudi selalu mencitrakan Islam dan Palestina sebagai pelaku kekerasan, hal ini mengakibatkan islamofobia yang meningkat tajam di Eropa dan Amerika, seperti rumput kering di musim panas mudah terbakar," kata Buya Bunyam kepada Republika, Senin (5/8/2024) malam.
Buya Bunyam mengatakan, begitu ada berita hoaks terkait pelaku penusukan di Southport adalah seorang Muslim imigran, hoaks tersebut langsung menyudutkan umat Islam. Maka timbul kerusuhan anti imigran dan anti Islam.
"Padahal kejadian yang sebenarnya pelaku penusukan adalah seorang Kristen keturunan imigran Rwanda di Benua Afrika," ujar Buya Bunyam.
Buya Bunyam menegaskan, sudah tugas pemerintah di Inggris, Eropa dan Amerika untuk membina kerukunan masyarakatnya.
Sebagaimana diberitakan The National News pada Senin (5/8/2024), kerusuhan di Inggris dipicu oleh berita palsu di media sosial (medsos) yang menyebutkan bahwa tersangka penusukan tiga anak di Southport adalah seorang imigran Muslim.
Penusukan atau pembunuhan tiga orang anak sebenarnya dilakukan Axel Rudakubana (17 tahun) yang lahir di Wales dari orang tua imigran Rwanda yang beragama Kristen, ia didakwa atas tiga pembunuhan dan 10 percobaan pembunuhan.
Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Inggris, Dyah Mustikaning Pitha Prawesti menceritakan latar belakang terjadinya protes anti imigran yang dimanfaatkan kalangan ekstremis kanan untuk meningkatkan islamofobia di Inggris.
Dyah mengatakan, protes anti imigran di Inggris sebenarnya sudah banyak letupan-letupan sebelumnya. Tapi pemicu terbesarnya adalah kejadian menyedihkan adanya penusukan yang dilakukan oleh seorang remaja berusia 17 tahun di Southport pekan lalu. Korbannya tiga anak usia di bawah 10 tahun meninggal dunia, sementara beberapa remaja dan gurunya terluka parah.
"Karena penyerangan itu maka membuat orang-orang marah, yang tidak menolong adalah hukum di Inggris ini, karena penyerangnya di bawah umur yakni baru berumur 17 tahun, jadi tidak disebutkan namanya dan identitasnya, memang hukumnya seperti itu," kata Dyah kepada Republika, Senin (5/8/2024)
Dyah mengatakan, kalau pelaku masih di bawah umur tidak boleh diumumkan identitasnya. Kemudian terjadilah di sosial media (medsos) spekulasi-spekulasi siapa pelakunya. Salah satu spekulasi yang santer itu adalah dari kalangan ekstremis kanan, tokohnya mengatakan bahwa pembunuhan anak-anak itu dilakukan oleh imigran. Sempat juga disebut-sebut namanya dan dispekulasikan sebagai imigran Muslim yang jadi pelakunya.
Dyah mengatakan, memang banyak disinformasi yang kemudian dijadikan alasan oleh kalangan ekstremis kanan untuk kemudian meningkatkan islamofobia.