REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap sombong (al-kibr) adalah sebuah penyakit hati. Menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali, itu lebih mudah menyerang para ilmuwan dan kaum cendekiawan daripada orang awam. Mengapa demikian?
Jawabnya, kata Imam Ghazali, berakar dari dua sebab. Pertama, para ilmuwan dan kaum cerdik pandai, dengan ilmu dan kepandaian yang dipunyai, sangat sukar untuk tidak membanggakan diri. Kedua, mereka sering merasa pakar dalam bidang tertentu; dan karena kepakarannya, mereka lantas merasa superior. Perasaan superioritas inilah yang sering membuat mereka bersikap sombong dan arogan. (Kitab Ihya' 'Ulum al-Din, 3/367).
Kesombongan intelektual ini, lanjut Ghazali, akan semakin bertambah manakala ilmu yang digeluti sang pakar bukan ilmu yang hakiki. Yang dimaksud ilmu hakiki ialah ilmu yang dengannya seorang dapat mengenal dirinya dan mengenal Tuhannya. Ilmu yang disebut terakhir ini, tidak saja dapat membebaskan seorang dari kesombongan, tetapi juga dapat mempertinggi rasa takut dan rasa kekagumannya kepada Allah SWT.
Inilah, menurut Ghazali, makna firman Allah. Artinya, "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya adalah ulama (ilmuwan)" (QS Fathir: 28).
Di samping ilmu pengetahuan, sebenarnya banyak faktor lain yang mendorong orang menjadi sombong dan arogan. Misalnya, prestasi kerja (al-'amal), kecantikan (al-jamal), harta kekayaan (al-mal), serta anak buah dan pengikut (al-atba' wa al-anshar). Namun di banding semua itu, ilmu pengetahuan, menurut Ghazali, merupakan faktor paling dominan.
Hal ini, lanjut Ghazali, karena ilmu merupakan sesuatu yang amat dihargai baik di mata manusia maupun dalam pandangan Tuhan. Agama sendiri memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu dan ilmuwan.
Namun, justru karena adanya penghargaan dan legitimasi keagamaan ini, para ilmuwan dan cerdik pandai sangat potensial dan rentan terhadap kesombongan. Menurut imam Ghazali, hanya ada dua jalan bagi para ilmuwan untuk menangkal penyakit ini.
Pertama, mereka harus belajar bersikap rendah hati dengan tidak mengklaim paling tahu dan paling benar. Klaim seperti ini, selain bermakna menuhankan diri sendiri, juga sangat berlawanan dengan doa yang diajarkan Tuhan kepada para nabi: "Rabbi Zidni 'Ilman (Ya Tuhan, tambahkan kepadaku ilmu pengetahuan)." Itu pun sangat kontradiktif dengan firman Allah, yang artinya, "Dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui" (QS Yusuf: 76).
Kedua, mereka harus menyadari bahwa di pundak mereka terdapat tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Sebagai ilmuwan mereka harus selalu konsisten dan memiliki komitmen untuk selalu berpihak kepada kebenaran, dan mempergunakan semua pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat dan bangsa.
Akhirnya, kita semua harus berusaha melepaskan diri dari berbagai kesombongan, termasuk kesombongan intelektual. Sifat sombong itu, besar maupun kecil, tak layak bagi manusia. Ibarat pakaian, ia hanya pantas sebagai 'selendang' kebesaran dan keagungan Tuhan semata. Lain tidak!