Sabtu 13 Jul 2024 16:36 WIB

“Bangsa Palestina tak Suka Tangan di Bawah”

Apakah kontribusi kita sudah cukup untuk membawa perubahan yang berarti?

Para pembicara seminar internasional Solidaritas untuk Palestina di kampus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sabtu (13/7/2024).
Foto: Republika
Para pembicara seminar internasional Solidaritas untuk Palestina di kampus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sabtu (13/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG — Ketua Majelis Pertimbangan Anggota Bulan Sabit Merak Indonesia (BSMI) Prof Dr dr Basuki Supartono SpOt menegaskan, bangsa Palestina tak memiliki budaya ‘tangan di bawah’. Menurut Basuki, warga Palestina adalah bangsa yang teguh berdiri dalam berjuang mempertahankan tanah air.

Basuki mengatakan, rakyat Gaza mengalami penderitaan yang luar biasa, baik dari sisi kesehatan, ekonomi, dan pendidikan. Namun, mereka tetap semangat berjuang. Meski hidup dalam keterbatasan tetapi tetap mencintai Palestina. Mereka tetap ingin membangun Palestina selamanya. “Mereka bangsa yang tak suka tangan di bawah,”ujar dia saat berbicara dalam seminar internasional  Solidarity and Humanity, Standing Together for Palestine yang dihadiri oleh berbagai pembicara dari Palestina, Malaysia dan Indonesia di kampus Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sabtu (13/7/2024).

Baca Juga

Mengutip data dari Kementerian Kesehatan Palestina, dia menjelaskan, sebanyak 37.396 orang menjadi syuhada. Meski demikian, rilis dari Lancet mengungkap, jumlahnya mencapai lebih dari 186 ribu jiwa. Dia mengatakan, hingga malam ini, serangan Israel belum berhenti. Infrastruktur di Gaza telah hancur. Mayoritas wilayah Gaza telah rata dengan tanah. Genosida Israel menewaskan ribuan warga sipil. Orang tua, wanita, ibu hamil, anak-anak dan bayi. Tenaga medis, jurnalis, pendidik, hingga profesor di Gaza ikut menjadi syuhada. "Sebuah genosida yang luar biasa. Ribuan warga Palestina kini mengungsi di berbagai di berbagai negara. Untuk keluar dari Gaza mereka harus membayar 5000 dolar AS per orang, termasuk bayi,"ujar dia.

Usai data-data di atas, Basuki mengungkapkan, pertanyaannya justru ditujukan kepada masyarakat di dunia. "Apakah kontribusi kita sudah cukup untuk membawa perubahan yang berarti? Bagaimana kita dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam memastikan bantuan yang berkelanjutan?"kata dia.

Dia menjelaskan, pengalaman pribadi dan profesional dalam bekerja di organisasi kemanusiaan telah mengajarkannya bahwa setiap kontribusi, sekecil apapun, dapat memberikan dampak yang besar. Basuki mengatakan, BSMI dan Universitas Brawijaya telah menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung Palestina melalui berbagai program bantuan dan kerjasama. "Kontribusi ini perlu terus ditingkatkan dan diperluas. Kita perlu terus berinovasi dan mencari cara-cara baru untuk memberikan bantuan yang efektif dan efisien,"kata dia.

Menurut Basuki, inovasi juga merupakan kunci penting dalam mendukung Palestina. Memanfaatkan teknologi dan inovasi dapat memberikan solusi praktis atas permasalahan yang dihadapi. Misalnya, telemedicine untuk layanan kesehatan jarak jauh atau platform e-learning untuk pendidikan. Teknologi dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan mereka yang membutuhkan bantuan, dan kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Menurut dia, inovasi dalam teknologi memungkinkan kita untuk memberikan bantuan yang lebih cepat, lebih efisien, dan lebih tepat sasaran.

 

Rektor Universitas Brawijaya Prof Widodo mengatakan, permasalahan Palestina bukan sebatas masalah individu dari latar belakang yang berbeda. Menurut Widodo, isu Palestina merupakan masalah kolektif kemanusiaan yang bersifat global.

Dia pun menjelaskan, Universitas Brawijaya bukanlah pendukung salah satu pihak yang berperang. Dia mengatakan, pihaknya, berkepentingan untuk ikut menata masa depan manusia di samping latarbelakangnya agar bisa hidup bermartabat. "Palestina adalah tentang keadilan, martabat dan kemanusiaan,"ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement