REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nabi Muhammad SAW telah berpesan kepada umatnya supaya selalu berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah beliau. Sepeninggal Rasulullah SAW, orang-orang yang menjadi rujukan diberi gelar ulama.
Mengutip buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial, dalam Alquran kata ulama disebut dua kali, yakni pada surah asy-Syu’ara ayat ke-197 dan Fathir ayat ke-28.
Yang pertama bercerita tentang ulama Bani Israil dan yang lainnya mengenai ulama kauniyah. Peran penting kaum ulama sudah ditegaskan Rasulullah SAW dalam suatu hadits. Mereka bahkan disebut sebagai ahli warisnya para nabi dan rasul.
Secara kebahasaan, ulama’ adalah bentuk jamak dari ‘alim yang berarti ‘orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, atau ilmuwan.’ Berbeda dengan kata ulama, kata ‘alim disebut lebih banyak di dalam Alquran, yaitu 140 kali. Semuanya merujuk pada salah satu Asma al-Husna, al-‘Alim, yakni Allah Yang Mahamengetahui.
Dalam pandangan Islam, ulama memiliki kedudukan yang tinggi. Surah az-Zumar ayat sembilan menunjukkan, Allah SWT mengisyaratkan tidak sama antara orang musyrik dan orang yang taat beribadah--lantaran takut dan penuh harapan pada Sang Pencipta.
Ayat yang sama juga ditutup dengan pertanyaan retoris (terjemahannya): “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui (ya’lamuuna) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.”
Seorang ulama masyhur dalam era klasik, Ibnu Asakir, pernah mengingatkan orang-orang agar berhati-hati dalam menjaga lisan dan perbuatan. Jangan sampai menghina, menjelek-jelekkan, atau menyakiti hati dan perasaan ulama. Sebab, kedudukan ulama berbeda daripada orang biasa, termasuk sekalipun penguasa.
"Saudaraku, ketahuilah bahwa daging para ulama itu beracun," kata pakar hadits sekaligus sejarawan dari Damaskus (Suriah) itu, seperti dikutip dari buku Tasawuf dan Ihsan.
Apa artinya "daging ulama beracun"? Maksudnya, siapa pun yang telah memfitnah mereka, pasti akan terkena nasib buruk; bagaikan tubuh terkena racun.
Alquran yakni surah al-Hujurat ayat ke-12, mengibaratkan perbuatan menggunjing atau mencari-cari keburukan orang lain sebagai "memakan daging saudara sendiri yang telah mati."
Maka, menjelek-jelekkan ulama di depan umum tentunya lebih parah lagi. Tidak hanya diibaratkan sebagai orang yang menjijikkan (karena memakan bangkai), tetapi juga kelak menerima sakit akibat perbuatannya itu.
"Dan kita telah mengetahui sikap Allah terhadap orang-orang yang mencela para ulama. Maka, siapa saja yang menghina para ulama dengan lidahnya, Allah akan menimpakan kematian hati kepadanya selagi dia di dunia," jelas Ibnu Asakir.
Dalam Alquran surah al-Ahzab ayat ke-57, dijelaskan tentang ancaman dari Sang Pencipta atas orang-orang yang menyakiti Rasulullah SAW. "Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan."
Saat ini, ketika Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi di tengah-tengah umat, tentu para alim ulama berperan sebagai "penyambung lidah" beliau, yang menerima warisan dari beliau yaitu ilmu-ilmu agama. Menyakiti ahli waris sama saja dengan menyakiti orang atau pihak yang mewariskan. Maka, sudah sepatutnya menjaga lisan dan tangan kita, yakni dengan selalu menghormati dan mencintai alim ulama.