Dia merupakan seorang sahabat Nabi yang menyandang disabilitas. Kakinya lumpuh, tetapi itu tidak menjadi penghalang baginya untuk terjun ke medan pertempuran. Semangatnya membara demi membela Rasulullah SAW dari agresor-musyrikin.
Hari-hari sebelum Pertempuran Uhud dimulai, Amr bin al-Jamuh telah berdoa, "Ya Allah, karuniakanlah kepadaku kesyahidan. Janganlah Engkau kembalikan aku kepada keluargaku dalam keadaan hidup."
Allah menakdirkan bahwa doanya dikabulkan. Sosok dari golongan Anshar itu gugur di Lembah Uhud sebagai syahid.
Rasulullah SAW memerintahkan agar jasadnya dikebumikan dalam liang yang sama dengan jenazah Abdullah bin Amr bin Haram. Sebab, beliau bersaksi, keduanya semasa hidup merupakan sahabat yang saling menyayangi karena Allah.
Bertahun-tahun pascawafatnya Nabi Muhammad SAW, kaum Muslimin dipimpin Kekhalifahan Bani Umayyah. Suatu ketika, kompleks permakaman para syuhada Uhud dilanda banjir. Genangan air memerlukan tindakan selekasnya.
Maka khalifah Muawiyah memerintahkan para bawahannya agar merelokasi kuburan para pahlawan Uhud itu. Kerangka-kerangka mereka pun dipindahkan.
Dalam proses penggalian, orang-orang menyaksikan betapa jasad para syuhada tak ubahnya ketika mereka masih bernyawa. Jenazahnya masih terasa lembut. Ujung-ujung anggota tubuhnya juga tidak kaku walau jelas sudah tak bernyawa.
Dalam persaksian Jabir (putra Abdullah bin Amr bin Haram), jasad bapaknya dan Amr bin al-Jamuh tampak seakan-akan keduanya sedang tidur nyenyak. Kedua jenazah itu tak kelihatan rusak. Bahkan, dari bibir masing-masing tampak segaris senyuman, petanda kerelaan dan sukacita memperoleh status syahid.