REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu ketika, Nabi Muhammad SAW menyampaikan ceramah di hadapan para sahabat. Kepada mereka, Rasulullah SAW mengingatkan perihal hari kiamat.
Cukup lama beliau berceramah. Tiba-tiba, seorang badui di antara para jamaah mengacungkan tangan sembari bertanya, "Ya Rasulullah, kapankah terjadinya hari kiamat itu?"
Bagaimanapun, Nabi SAW tetap meneruskan ceramahnya. Orang badui itu pun kembali bersuara, "Ya Rasulullah, engkau telah menjelaskan tentang keadaan hari kiamat, namun kapankah itu terjadinya?'
Barulah pada kali ketiga lelaki badui itu bertanya, Rasulullah SAW menjeda ceramahnya. "Mana yang tadi bertanya tentang kapan hari kiamat?" kata beliau.
Orang badui itu pun mengacungkan tangannya, "Saya, wahai Rasulullah!"
Nabi SAW kemudian bersabda, "Apabila amanah disia-siakan, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat."
"Apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah?"
"Apabila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat," jelas beliau.
Hadis di atas termuat dalam Shahih Bukhari. Yang dimaksud oleh Rasululah SAW adalah urusan yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak, baik dalam perkara dunia maupun agama. Jika orang yang tidak memiliki keahlian di bidang tersebut justru memperoleh amanah untuk mengerjakannya, maka itu termasuk tanda kian dekatnya hari kiamat.
Betapa banyak bukti kegagalan yang disebabkan pengabaian prinsip "the right man on the right place." Jangankan pada ihwal keagamaan. Dalam perkara-perkara teknis duniawi pun, menempatkan orang yang bukan ahlinya di suatu posisi strategis adalah awal dari bencana.
Ambil contoh, seseorang yang memperoleh jabatan hanya karena dirinya memiliki kedekatan dengan penguasa. Padahal, posisi itu memerlukan sederet keahlian yang jelas-jelas tidak dikuasainya. Akhirnya, publik pun cepat atau lambat akan mengalami kerugian akibat ketidakbecusan orang tersebut.
Hadis di atas juga menunjukkan, agama Islam menghendaki penerapan meritokrasi di tengah masyarakat. Sistem demikian memberikan kesempatan kepada orang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasinya, bukan kekayaan, senioritas, dan hal-hal lain yang berbau nepotisme.
Syiar Islam pun akan mandek bila seseorang berbicara tentang dalil-dalil tanpa pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Karena itu, lembaga pendidikan Islam semisal pesantren secara ketat memberlakukan sistem sanad.
Alhasil, ini dapat menjaga validitas informasi atau ilmu pengetahuan yang disampaikan dari guru ke murid, sejak masa Rasulullah SAW hingga para penulis kitab-kitab dan guru-guru yang memelajari kitab-kitab tersebut. Ini demi menghindari orang yang tidak ahli agama berbicara seolah-olah dirinya ahli agama.