REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada banyak informasi yang memang sengaja disembunyikan Zionis Israel tentang kondisi perang sebenarnya. Termasuk soal kondisi siapa yang sebenarnya menang dalam hal ini, jika difokuskan pada perlawanan Hamas dengan tanpa mengesampingkan faksi perlawanan Palestina lainnya, maka Zionis Israel atau Hamas yang menang?
Membaca dua laporan laporan media terpercaya memperkuat tentang fakta tersebut. Dalam artikel bertajuk Hamas Is Winning Why Israel’s Failing Strategy Makes Its Enemy Stronger, media yang concern terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, Foreign Affairs mengeluarkan kesimpulan yang intinya menyebut Hamas menang telak dari Israel.
Sang Penulis, Robert A Pape, Profesor Ilmu Politik dan Direktur Proyek Keamanan dan Ancaman Chicago di Universitas Chicago menyebut Hamas lebih kuat hari ini dibandingkan dengan 7 Oktober.
Sementara itu, laporan bertajuk The Occupation Army Is Being Affected Seriously By Suicide, Low Morale And Mental Illness yang diterbitkan middleeasmonitor, oleh kolumnis Aziz Mustafa juga memperkuat kesimpulan Robert A Pape.
Foreign Affairs menyatakan bahwa sembilan bulan operasi tempur udara dan darat Israel di Gaza belum mengalahkan Hamas, dan Israel juga tidak hampir mengalahkan kelompok teroris itu. Sebaliknya, menurut ukuran-ukuran yang penting, Hamas lebih kuat hari ini dibandingkan pada 7 Oktober lalu.
Sejak serangan mengerikan Hamas Oktober lalu, Israel telah menginvasi Gaza utara dan selatan dengan sekitar 40 ribu tentara tempur, memaksa 80 persen penduduk mengungsi, menewaskan lebih dari 37 ribu orang, menjatuhkan setidaknya 70 ribu ton bom di wilayah tersebut (melebihi berat gabungan bom yang dijatuhkan di London, Dresden, dan Hamburg selama Perang Dunia II), menghancurkan atau merusak lebih dari separuh bangunan di Gaza, serta membatasi akses air, makanan, dan listrik di wilayah tersebut, sehingga membuat seluruh penduduk berada di ambang kelaparan.
Meskipun banyak pengamat telah menyoroti ketidakmoralitasan perilaku Israel, para pemimpin Israel secara konsisten menyatakan bahwa tujuan untuk mengalahkan Hamas dan melemahkan kemampuannya untuk melancarkan serangan baru terhadap warga sipil Israel harus didahulukan di atas segala keprihatinan terhadap nyawa warga sipil Palestina. Hukuman terhadap penduduk Gaza harus diterima sebagai hal yang diperlukan untuk menghancurkan kekuatan Hamas.
Namun berkat serangan Israel, kekuatan Hamas justru semakin berkembang. Seperti halnya Viet Cong yang semakin kuat selama operasi besar-besaran "cari dan hancurkan" yang menghancurkan sebagian besar wilayah Vietnam Selatan pada 1966 dan 1967.
Ketika Amerika Serikat mengerahkan pasukan ke negara itu dalam upaya yang pada akhirnya sia-sia untuk mengubah perang menjadi menguntungkannya, Hamas tetap gigih dan telah berevolusi menjadi pasukan gerilya yang ulet dan mematikan di Gaza, dengan operasi mematikan yang dimulai kembali di wilayah utara yang seharusnya telah dibersihkan oleh Israel beberapa bulan yang lalu.
Kelemahan utama dalam strategi Israel bukanlah kegagalan taktik atau pembatasan kekuatan militer-seperti halnya kegagalan strategi militer Amerika Serikat di Vietnam yang tidak ada hubungannya dengan kecakapan teknis pasukannya atau batas-batas politik dan moral dalam penggunaan kekuatan militer.
Sebaliknya, kegagalan yang paling utama adalah kesalahpahaman yang besar terhadap sumber-sumber kekuatan Hamas. Yang sangat merugikan, Israel telah gagal menyadari bahwa pembantaian dan kehancuran yang dilancarkannya di Gaza hanya membuat musuhnya menjadi lebih kuat.
Selama berbulan-bulan, pemerintah dan para analis terpaku pada jumlah pejuang Hamas yang terbunuh oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF), seakan-akan statistik ini merupakan ukuran terpenting dari keberhasilan kampanye Israel melawan kelompok tersebut.
Yang pasti, banyak pejuang Hamas yang terbunuh. Israel mengatakan bahwa 14 ribu dari sekitar 30 ribu hingga 40 ribu pejuang yang dimiliki Hamas sebelum perang kini telah gugur, sementara Hamas bersikeras bahwa mereka hanya kehilangan 6.000 hingga 8.000 pejuang.
Sumber-sumber intelijen Amerika Serikat mengindikasikan bahwa jumlah sebenarnya dari Hamas yang gugur adalah sekitar 10 ribu orang.
Namun, fokus pada angka-angka ini membuat sulit untuk benar-benar menilai kekuatan Hamas. Meskipun mengalami kekalahan, Hamas secara de facto masih menguasai sebagian besar wilayah Gaza, termasuk daerah-daerah di mana warga sipil kini terkonsentrasi.
Kelompok ini masih menikmati dukungan luar biasa dari warga Gaza, yang memungkinkan para militan untuk merampas pasokan kemanusiaan hampir sesuka hati dan dengan mudah kembali ke daerah-daerah yang sebelumnya "dibersihkan" oleh pasukan Israel.
Menurut penilaian Israel baru-baru ini, Hamas kini memiliki lebih banyak pejuang di wilayah utara Gaza, yang direbut IDF pada musim gugur dengan mengorbankan ratusan tentara, dibandingkan dengan yang ada di Rafah di selatan.
Hamas kini melancarkan perang gerilya, yang melibatkan penyergapan dan bom rakitan (sering kali dibuat dari persenjataan yang tidak meledak atau senjata IDF yang dirampas), sebuah operasi berlarut-larut yang menurut penasihat keamanan nasional Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini dapat berlangsung hingga akhir 2024.
Hamas masih bisa menyerang Israel...