REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asal pokok ajaran Islam adalah Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Setidaknya sejak akhir abad ke-19 M, berbagai organisasi keislaman muncul di penjuru dunia untuk mengajak kaum Muslimin agar kembali kepada dua sumber utama tersebut.
Di Indonesia, Persyarikatan Muhammadiyah sejak awal berdirinya juga mengusung semangat dakwah "kembali kepada Alquran dan Sunnah." Apakah makna atau maksud dari "kembali" itu?
Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dr H Khaeruddin Hamsin menjelaskan, "kembali kepada Alquran dan Sunnah" tidak hanya berarti mengambil teks secara harfiah. Lebih dari itu, upaya tersebut juga mempertimbangkan berbagai pendapat fikih yang sudah ada di tengah kaum Muslimin.
Hal itu dilakukan untuk menentukan, mana pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat fikih yang lebih sesuai dengan semangat Alquran dan Sunnah Nabi. Di samping itu, apsek kemaslahatan bagi umat Islam dan manusia umumnya juga dipertimbangkan.
"Dengan kata lain, pendekatan ini menekankan pentingnya penggunaan akal dan pengetahuan dalam memahami teks-teks keagamaan," ujar Khaeruddin Hamsin, seperti dikutip Republika dari laman resmi Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Rabu (5/6/2024).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu mencontohkan, Persyarikatan memiliki Risalah Islam Berkemajuan. Dalam dokumen hasil Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, Jawa Tengah, itu disebutkan bahwa "kembali kepada Alquran dan Sunnah" berarti penggalian terhadap makna kedua sumber tersebut.
Upaya menggali ini dilakukan dengan memanfaatkan akal serta legasi intelektual dan ilmu pengetahuan. Pendekatan ini, jelas Hamsin, tidak terikat pada mazhab fikih tertentu, melainkan lebih pada pemahaman yang komprehensif dan dinamis.
"Muhammadiyah memahami bahwa ayat-ayat Alquran dan Sunnah perlu dijelaskan dengan menggunakan berbagai perangkat analisis," ucap dia.
Manhaj Tarjih yang merupakan hasil Musyawarah Nasional Tarjih ke-32 di Pekalongan, Jawa Tengah, baru-baru ini membahas hal tersebut. Perangkat analisis untuk menjelaskan ayat-ayat Alquran dan Sunnah disebut sebagai sumber paratekstual. Ini mencakup ijmak, qiyas, maslahat mursalah, istihsan, istishab, tindakan preventif, pendapat sahabat Nabi Muhammad SAW, syariat umat terdahulu, dan ‘urf.
Dengan demikian, Hamsin menegaskan, "kembali kepada Alquran dan Sunnah" menurut Muhammadiyah bukanlah sebuah proses yang statis, melainkan dinamis dan kontekstual. Dalam hal ini, pemahaman klasik juga digabungkan dengan pendekatan modern.
Perspektif Muhammadiyah menekankan, Islam adalah agama yang berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan esensi dari ajaran yang terkandung dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.
"Dengan memanfaatkan berbagai sumber paratekstual, Muhammadiyah berusaha memberikan jawaban yang relevan dan kontekstual terhadap berbagai persoalan kontemporer. Dengan begitu, ajaran Islam tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam," kata dia.