Selasa 21 May 2024 05:53 WIB

Pendidikan Tidak Lagi Diutamakan di Tengah Perang Gaza

Gaza merupakan rumah bagi lebih dari 625.000 siswa dan sekitar 20.000 guru.

Rep: Mgrol150/ Red: Muhammad Hafil
Dua anak perempuan Palestina makan mie saat mereka berjalan pulang dari sekolah melalui deretan etalase toko yang ditutup untuk pemogokan umum yang menyerukan gencatan senjata di Gaza, di Kota Tua Yerusalem, Palestina, Senin (11/12/2023).
Foto: AP/Maya Alleruzzo
Dua anak perempuan Palestina makan mie saat mereka berjalan pulang dari sekolah melalui deretan etalase toko yang ditutup untuk pemogokan umum yang menyerukan gencatan senjata di Gaza, di Kota Tua Yerusalem, Palestina, Senin (11/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Konflik yang terjadi di Gaza, PBB telah memperkirakan sekitar 19.000 anak menjadi yatim piatu dan hampir sepertiga anak di bawah usia dua tahun menghadapi kekurangan gizi akut. Dalam keadaan darurat, pendidikan tidak lagi diutamakan dibandingkan keselamatan, kesehatan dan sanitasi, kata para pakar pendidikan, namun dampaknya akan bertahan lama.

“Fokus utama selama konflik bukanlah pada pendidikan, namun gangguan ini memiliki dampak jangka panjang yang luar biasa. Biaya yang harus ditanggung saat ini tidak dapat diukur,” kata Sonia Ben Jaafar, Perwakilan dari Yayasan Abdullah Al Ghurair yang merupakan organisasi filantropi di bidang pendidikan negara – negara Arab, dilansir dari APNews, Sabtu (18/05/2024).

Baca Juga

Sebelum perang, Gaza merupakan rumah bagi lebih dari 625.000 siswa dan sekitar 20.000 guru yang sangat melek huruf, menurut PBB. Dalam konflik lain, kelompok bantuan dapat menciptakan ruang yang aman bagi anak-anak di negara-negara tetangga, misalnya seperti Polandia untuk tempat tinggal dan sekolah selama perang di Ukraina.

Hal ini tidak mungkin terjadi di Gaza yang merupakan daerah kantong padat penduduk yang terletak di antara laut, Israel, dan Mesir. Sejak 7 Oktober, warga Palestina dari Gaza tidak diizinkan menyeberang ke Israel. Bahkan Mesir telah membiarkan sejumlah kecil warga Palestina pergi.

“Mereka tidak dapat melarikan diri, dan mereka tetap berada di wilayah yang terus diserang. Sangat sulit untuk memberi mereka layanan tertentu, seperti dukungan kesehatan mental dan psikososial atau pendidikan dan pembelajaran yang konsisten,” kata Tess Ingram, Perwakilan UNICEF.

Kelompok relawan berharap kelas belajar mengajar akan dapat dilanjutkan pada bulan September. Namun bahkan jika gencatan senjata ditengahi, sebagian besar wilayah Gaza harus dibersihkan dari ranjau dan pembangunan sekolah kembali bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Untuk sementara itu, sekelompok relawan menyediakan kegiatan rekreasi seperti mengadakan permainan, menggambar, drama, seni bukan untuk pendidikan berbasis kurikulum tetapi untuk membuat anak-anak tetap terlibat dan melakukan rutinitas, dalam upaya untuk mencapai keadaan normal. Meski begitu, semua hal – hal yang dilakukan seringkali tertuju pada perang, seperti anak – anak menggambar tenda, pesawa, dan bahkan rudal. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement