REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Prof Dr drg A Arsunan Arsin, MKes, CWM menyampaikan penjelasan tentang pola penularan baru penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Hal ini dia sampaikan dalam webinar bertajuk "Waspada DBD, dan Mudik Lebaran 2024", Ahad (7/4/2024) melalui tayangan zoom.
Dia menjelaskan, berdasarkan data World Health Organization (WHO), diperkirakan ada 390 juta penduduk dunia yang rentan terinfeksi virus dengue atau DBD per tahun. Penyakit DBD endemik itu ada di lebih dari 100 negara. Antara lain Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
"Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kasus DBD tertinggi di dunia, menempati posisi keempat kasus terbanyak dengan jumlah 125 ribu kasus pada tahun 2022," kata dia, yang mengutip laporan The European Centre for Disease Prevention and Control.
Di Indonesia, jelas Prof Arsunan, kasus DBD tergolong fluktuatif. Hal ini dipengaruhi oleh perilaku masyarakat yang dinamis dan juga kondisi lingkungannya serta kebijakan pemerintah tentang kesehatan. Apalagi, pada 2024 hingga Maret ini, berdasarkan data Kementerian Kesehatan bahwa ada 15 ribu kasus DBD dan memiliki potensi kenaikan di musim pancaroba ini.
"Angka kematiannya juga fluktuatif tapi akhir-akhir ini meningkat untuk kematian. Di Makassar ada dosen yang meninggal dunia karena DBD. Jadi meamng kasus penyakit ini tidak bisa diabaikan," tuturnya.
Prof Arsunan juga mengungkapkan, terdapat perubahan perkembangbiakkan nyamuk aedes penyebar virus dengue atau DBD. Dulu diketahui bahwa nyamuk penyebab DBD berkembang biak di wadah yang di dalamnya ada air. Namun sekarang tanpa wadah pun, selama ada kontak antara air dan tanah, bisa menjadi tempat berkembang biak nyamuk aedes.
Bahkan, Prof Arsunan menyebutkan, kini tempat terbanyak nyamuk penyebab DBD bukan di luar rumah tapi di dalam rumah. Misalnya di bawah dispenser yang biasanya ada sisa air. "Terbanyak itu sekarang ada di dispenser. Jadi memang harus dicek air yang di bawahnya itu karena nyamuk senang berada di situ," paparnya.
Prof Arsunan melanjutkan, ada dua jenis nyamuk aedes yang biasanya menyebabkan penyebab penyakit DBD yaitu nyamuk aedes aegypti (paling utama) dan kedua ialah nyamuk aedes albopictus. Pola gigit nyamuk tersebut kini berada di jam pagi seperti di pukul 8 pagi dan jam sore pukul 15.00 Wib hingga 17.00 Wib. Risiko terbanyak ada di kalangan anak-anak dan usia lansia, meski beberapa catatan lain menyebutkan usia produktif sudah mulai terjadi peningkatan kasus.
Dari aspek tempatnya, Prof Arsunan menjelaskan, nyamuk penyebab DBD kini tidak hanya ada di perkotaan tapi sudah menyebar ke daerah yang berada di dataran tinggi. Nyamuk DBD juga mengikuti pergerakan mobilitas penduduk. "Nyamuk bisa saja ikut mudik karena mengikuti penderitanya yang mudik dan nanti sampai di kampung ada nyamuk tersebut sehingga menularkan ke orang lain. Karena nyamuk ini senang menyerang orang di tingkat kepadatan orang yang tinggi. Penyakit ini bisa mengikuti perjalanan dari satu tempat ke tempat lain," terangnya.
Sementara itu, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialisasi, Hematologi Onkologi Medik, Prof dr Zubairi Djoerban, SpPD-KHOM menuturkan, risiko terjadinya kasus DBD ini berkaitan dengan tropik dan subtropik, peningkatan travelling, global warming, dan kenaikan kepadatan penduduk.
Adapun gejala penyakit DBD ini dipengaruhi panas, mual, muntah, dan gejala-gejala sistemik lainnya yang tergolong banyak. Hingga 2024 ini, terhitung sampai 25 Maret kemarin, sudah ada 53.131 kasus dengan angka kematian berjumlah 404 jiwa.
Dia mengingatkan untuk tidak melakukan transfusi trombosit. "Jangan melakukan transfusi trombosit. Sekarang banyak yang minta transfusi trombosit. Ini tidak benar. Jangan transfusi trombosit," kata dia mengingatkan.
Acara webinar itu sendiri dihadiri Ketua Umum ICMI, Prof Dr Arif Satria, SP, MSi, Wakil Ketua Umum ICMI, Prof Dr Ir Riri Fitri Sari, MM, MSc, Ketua Koordinasi Kesehatan Majelis Pengurus Pusat ICMI Prof Dr dr Fachmi Idris, MKes.