Senin 15 Jan 2024 17:58 WIB

Di Balik Keberanian Afsel Gugat Israel, Berontak dari Kezaliman Penjajah

Afsel gugat Israel di Pengadilan Internasional

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Massa menggelar aksi solidaritas global untuk Gaza di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta, Sabtu (13/1/2024). Aksi tersebut merupakan bentuk kepedulian dan dukungan terhadap Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel. Massa juga menuntut gencatan senjata menjelang 100 hari pembantaian yang dilakukan Israel kepada warga Palestina di Jalur Gaza, membuka blokade secara menyeluruh untuk bantuan kemanusiaan. Selain itu, massa juga ikut mendukung tindakan Afrika Selatan yang menggugat Israel ke Pengadilan Internasional atas dugaan genosida oleh Israel terhadap Palestina di Gaza.
Foto:

Pada 1650, para direktur VOC yang disebut Heeren XVII kemudian memutuskan untuk mendirikan stasiun penyegaran bagi kapal-kapal yang melintas di Table Bay yang kemudian disebut Cape, dan pada abad berikutnya dikenal dengan nama Cape Town.

Penjajah membawa serta budaya Barat dan 'beban intelektual' Barat seperti Hukum Romawi-Belanda, agama Reformed (Gereja Reformed didasarkan pada dogma Calvinis) dan kapitalisme, yakni gagasan yang asing di Afrika Selatan saat itu.

Dari Batavia, Belanda meminjam perbudakan dan pamer kekayaan. Hal ini mengakibatkan hampir setiap orang kaya mempunyai budak atau 'pelayan'.

Pada 1795, VOC yang dulunya perkasa berada di ambang kebangkrutan. Inggris telah mendirikan British East India Company dan memutuskan untuk mengambil alih Tanjung sebagai stasiun perantara ke Timur.

Pada Juni 1795, armada Wakil Laksamana Elphenstone tiba di Teluk Simon dan, dengan bantuan armada utama Inggris yang tiba di sana pada tanggal 3 September, mereka menaklukkan Cape pada Pertempuran Muizenberg.

Setelah merebut Tanjung dari VOC pada 1795, Inggris mengembalikan koloni tersebut kepada pemerintah Belanda pada tahun 1803 ketika perdamaian telah dicapai dengan Perancis setelah Perjanjian Amiens.

Namun pada 1806, dengan dimulainya Perang Napoleon, Inggris kembali merebut Tanjung tersebut untuk melindungi jalur laut menuju kerajaan Asia mereka. Kali ini pertempuran terjadi di Blaauberg.

Mulai 1806 dan seterusnya, Cape akan menjadi koloni Inggris. Hampir satu setengah abad dominasi Belanda di Cape berakhir. Afrika Selatan adalah satu-satunya negara di Afrika yang dijajah Belanda.

Ini adalah permulaan dominasi Inggris selama hampir satu setengah abad hingga 1961 ketika Afrika Selatan menjadi Republik merdeka, setelah menjadi Persatuan di bawah pengawasan Inggris selama setengah abad, sejak 1910.

Setelah 1852, sebagian besar Afrika Selatan hingga Sungai Limpopo ditaklukkan oleh orang kulit putih. Pada 1880 terdapat empat pemerintahan kulit putih di Afrika Selatan, yaitu Cape Colony, Natal (di bawah pemerintahan Inggris), Oranje-Vrijstaat (Negara Bebas Oranye), dan Zuid-Afrikaansche Republiek (Republik Afrika Selatan) di bawah pemerintahan Afrikaner. 

Kelompok masyarakat kulit hitam yang tinggal di keempat wilayah tersebut didominasi oleh masyarakat kulit putih, karena 'kebijakan segregasi yang sangat tidak setara' diberlakukan terhadap mereka. 

Baca juga: 3 Fakta Surat Al-Mulk Ayat 15 yang Memuat Janji Allah SWT untuk Lancarkan Rezeki

Kolonisasi internal 

Setelah dijajah 'secara tidak resmi' oleh para migran dari utara, serta mengalami dua kolonisasi 'resmi' oleh orang-orang Eropa dari selatan, negara ini harus menghadapi kolonisasi 'internal' sebelum memperoleh kebebasannya. Republik Afrika Selatan sejak 1961 dan seterusnya hanyalah kelanjutan dari kekuasaan Partai Nasional, yang telah dimulai pada 1948.

Pemerintahan Afrikaner kulit putih tanpa perwakilan ras kulit hitam atau campuran, tidak lain adalah fase kolonisasi berikutnya di negara ini, dan ini mungkin yang paling keras dari semuanya. Kolonisasi ini baru berakhir padas1994.

 

Sumber: scielo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement