REPUBLIKA.CO.ID, SAO PAULO -- Bukan hal yang aneh saat pasien datang marah-marah ke unit gawat darurat tempat dokter Batull Sleiman bekerja. Setiap hari selalu ada krisis medis dan masalah kesehatan darurat yang perlu ditangani. Tapi Sleiman tidak mengira tingkat kemarahan yang ia terima beberapa pekan yang lalu.
Seorang pasien tiba dengan rasa frustasi karena lamanya ia menunggu. Sleiman mengingat masalah "tidak mendesak." Tapi ia tetap merawatnya, tapi pasien itu menuduhnya tidak sopan. "Kamu tidak sopan pada saya karena kami tidak dari Brasil, bila kamu di negara kamu," kata Sleiman mengenang perkataan pasien tersebut.
Sleiman mengatakan ia langsung berbalik dibandingkan harus mendengar sisa keluhan pasien itu. Putri imigran asal Lebanon itu yakin, reaksi pasien tersebut karena ia memakai hijab. "Saya terkejut dan marah," katanya pada Aljazirah, seperti dikutip Ahad (1/1/2024).
Dokter yang bekerja di Sao Paolo, Brasil itu mengatakan situasinya semakin menegangkan sejak perang Gaza pecah. "Saya mulai menyadari orang-orang semakin lama memandangi saya sejak bulan Oktober lalu," katanya.
Sleiman bukan satu-satunya yang merasa terasingkan. Sejak Israel menyerang Gaza, Brasil salah satu negara yang mengalami peningkatan diskriminasi agama terutama terhadap muslim. Jajak pendapat Kelompok Antropolog pada Konteks Islam dan Arab yang berbasis di University of Sao Paolo menemukan banyak muslim Brasil yang mengalami penghinaan sejak perang Gaza pecah.
Sekitar 70 persen responden mengatakan mereka mengenal orang yang mengalami tindak intoleransi sejak 7 Oktober lalu, ketika Hamas menggelar serangan mendadak ke Israel. Israel membalas serangan tersebut dengan operasi militer ke Gaza yang kini sudah menewaskan lebih dari 21.500 orang. PBB, kelompok kemanusiaan, dan pakar memperingatkan "resiko genosida."
Profesor dari University Sao Paolo Francirosy Barbosa menemukan, meski Palestina merupakan kelompok etnis bukan agama tapi sejak 7 Oktober 2023, intoleransi beragama meningkat tajam karena identitas orang Palestina dicampuradukkan dengan identitas muslim. Ia memimpin jajak pendapat pada 310 muslim di Brasil.
Barbosa menjelaskan para responden melaporkan mereka menerima penghinaan sejak perang Gaza. "Banyak perempuan muslim memberitahu kami kini mereka disebut seperti "anak Hamas" atau "teroris Hamas"," kata Barbosa.
Jajak pendapat yang digelar daring itu juga menemukan banyak responden yang mengalami sendiri intoleransi. "Sekitar 60 persen responden mengafirmasi mereka mengalami semacam serangan, entah di media sosial atau kehidupan sehari-hari di tempat kerja, rumah atau di ruang publik," kata Barbosa.
Penelitian itu mencatat, perempuan lebih tinggi kemungkinan mengalami intoleransi. Masalah islamphobia menjadi sorotan di Brasil pada bulan ini ketika video di media sosial menunjukkan warga di Mogi das Cruzes di pinggir Sao Paolo, berlari ke arah seorang perempuan muslim dan menarik hijabnya. Video itu disiarkan di CNN Brasil.
Salah satu perempuan yang terlibat, Karen Gimenez Oubidi yang menggunakan nama Khadija menikah dengan seorang pria Maroko dan menjadi mualaf delapan tahun yang lalu. Ia mengatakan kejadian itu melibatkan salah satu tetangganya. Ia kesal setelah anak-anak mereka berselisih.
"Ia datang bersama saudara laki-laki dan sangat agresif, ia menyebut saya "perempuan jalang yang dibungkus kain" kemudian saya sadar ini bukan hanya pertengkaran anak-anak," kata Gimenez Oubidi.
Para tetangga berusaha memisahkan dua perempuan itu. Namun dalam video terlihat seorang pria menarik Gimenez Oubidi dari belakang, melingkarkan lengan ke lehernya. Gimenez mengidentifikasi pria itu saudara laki-laki perempuan yang menyerangnya.
"Beberapa kali ia mengatakan kepada saya, 'Sekarang apa yang kamu lakukan, teroris? Ia tidak mengatakannya keras-keras, hanya untuk saya yang mendengar. Ia tahu apa yang ia lakukan," kata Gimenez.
Ia menambahkan pertengkaran anaknya dengan anak tetangganya juga tentang masalah hijabnya. Perempuan yang menyerang Gimenez, Fernanda membantah pernyataannya.
Fernanda mengatakan putranya dipukul putra Gimenez di taman bermain. Meski pun ia menyerang fisiknya, Fernanda mengaku tidak pernah menyinggung agama Gimenez. "Saya tidak pernah menghina agamanya, pada dasarnya itu tidak terjadi, saya tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti itu," katanya.
Dalam laporannya bulan Juli lalu pemerintah Brasil mengatakan intoleransi beragama "paling intensif terjadi pada warga asal Afrika, tapi juga berdampak pada warga pribumi, Roma, imigran dan individu yang pindah agama, termasuk muslim dan Yahudi serta ateis, agnostik dan orang-orang tanpa agama."
Brasil yang mayoritas Kristen diperkirakan memiliki 123 juta penganut Katolik. Lebih banyak dari negara manapun di dunia. Namun sejak lama negara itu juga memiliki populasi muslim.
Akademisi yakin, Islam tiba di Brasil lewat jalur perdagangan budak transatlantik. Banyak muslim Afrika yang diculik ke Brasil melanjutkan praktik keagamaan mereka. Salah satu muslim Brasil yang dijadikan budak menggelar pemberontakan pada pemerintah pada tahun 1835. Pemberontakan itu disebut pemberontakan Male yang artinya muslim dari kata Yoruba.
Populasi muslim di Brasil tumbuh sejak gelombang imigran pada akhir abad ke-19 dan abad-20. Terutama sejak jatuhnya Dinasti Ottoman. Imigran Arab terutama dari Lebanon, Suriah dan Palestina datang ke Brasil.
Jumlah muslim di Brasil saat ini masih belum diketahui. Sensus di 2010 lalu mencatat 35.167 orang mengidentifikasi dirinya sebagai muslim. Tapi tahun-tahun berikutnya, ada perkiraan lain yang mencapai 1,5 juta orang.
Namun pakar menunjukkan adanya perubahan tren demografi dan politik yang meningkatkan ketegangan antara muslim dan non-muslim. Kristen Evangelis yang tumbuh sangat pesat di Brasil saat ini mencakup sepertiga populasi. Angka mereka mengubah jemaatnya menjadi kekuatan politik.
Pemilih Evangelis pun dianggap membantu mantan Presiden Jair Bolsonaro dari ekstrem kanan terpilih pada 2016 lalu. Jajak pendapat menunjukkan 70 persen Evangelis mendukungnya.
Saat ia kalah dalam pemilihan 2022 lalu, Bolsonaro berulang kali menggunakan citra Kristen dalam kampanye. Ia membingkai pemilihan itu sebagai "pertarungan antara yang baik dan yang jahat".
Ketua sebuah masjid di Porto Alegre Mahmoud Ibrahim, yakin mentalitas "kita-lawan-mereka" diterjemahkan ke dalam permusuhan terhadap komunitasnya. Ia mengatakan dalam demonstrasi menolak perang Gaza menyebutnya "teroris" dan "pemerkosa anak." "Kaum Evangelis dan Bolsonaris menghina kami sepanjang waktu. Mereka bahkan mengejar seseorang yang akan menghadiri demonstrasi kami beberapa hari yang lalu," katanya.
Ibrahim menambahkan ia mendengar setidaknya seorang wanita yang berdarah-darah setelah para penyerang berusaha merobek jilbabnya, menyebabkan peniti di jilbabnya menusuk kulitnya. Ketua Asosiasi Nasional Ahli Hukum Muslim (ANAJI), kelompok yang menawarkan bantuan hukum dalam kasus-kasus Islamofobia, Girrad Sammour mengatakan jumlah laporan yang masuk ke ANAJI selalu tinggi. Namun angkanya meledak sejak perang Gaza. "Ada peningkatan 1.000 persen dalam pengaduan yang kami terima," katanya kepada Aljazirah.
Ia menyalahkan beberapa kasus disebabkan pernyataan-pernyataan menghasut dari para pendeta evangelis sayap kanan. Namun Barbosa percaya ada beberapa cara untuk mengurangi kebencian dan kecurigaan yang ditujukan kepada warga muslim Brasil. Salah satunya kurangnya representasi muslim di media.
"Hanya sedikit pemimpin dan pakar Palestina di Timur Tengah yang memiliki pandangan pro-Palestina yang diundang acara-acara TV, misalnya, untuk mengomentari konflik di Gaza," kata Barbosa.
Namun, ia juga mendorong warga muslim Brasil untuk berbicara tentang pengalaman mereka, untuk meningkatkan kesadaran. "Apa yang tidak dikecam tidak akan menjadi perhatian pemerintah," katanya.
"Hanya jika pihak berwenang mengetahui apa yang terjadi, mereka akan dapat mengambil tindakan yang memadai, seperti berinvestasi dalam pendidikan untuk melawan intoleransi agama," tambahnya.