REPUBLIKA.CO.ID,BERLIN -- Muslim Jerman, Lobna Shammout awalnya hanya samar-samar mengetahui serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu. Beberapa pekan berikutnya, ketika Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Gaza sebagai pembalasan atas serangan Hamas, Shammout dengan cemas menunggu kabar dari kerabat dan teman-temannya di Gaza.
Dilansir dari laman Guardian pada Rabu (13/12/2023), Shammout juga menjadi penyalur informasi yang diminta oleh teman-teman dan koleganya yang ingin memahami konflik tersebut. Shammout saat ini aktif mengelola panti jompo di Lugde, Jerman barat.
Seperti banyak warga Muslim lainnya, dia menyaksikan dengan rasa frustrasi yang semakin besar ketika Jerman muncul sebagai salah satu pendukung strategi Israel yang paling tidak bersyarat di Eropa. Para pemimpin politik di negara tersebut telah berulang kali berbicara dan tanpa ragu-ragu mengenai Staatsrason, atau alasan negara Jerman. Adalah sebuah prinsip yang menempatkan dukungan terhadap Israel sebagai inti dari identitas nasional.
“Ungkapan ‘keamanan Israel adalah bagian dari Staatsrason Jerman’ tidak pernah menjadi ungkapan kosong dan tidak boleh menjadi satu kesatuan. Ini berarti bahwa keamanan Israel sangat penting bagi kita sebagai sebuah negara,” kata Wakil kanselir Jerman Robert Habeck, mengatakan dalam pesan video. Dia juga menambahkan bahwa Jerman memikul tanggung jawab bersejarah sebagai pelaku Holocaust yang menewaskan enam juta orang Yahudi.
“Generasi kakek dan nenek sayalah yang ingin memusnahkan kehidupan Yahudi di Jerman dan Eropa. Setelah Holocaust, berdirinya Israel merupakan janji perlindungan bagi orang-orang Yahudi, dan Jerman terpaksa membantu memastikan bahwa janji ini dapat dipenuhi. Ini adalah sejarah yang mendasari republik kami,” kata Habeck.
Shammout memahami hal ini. Akan tetapi dia juga merasa tidak ada ruang bagi para pengkritik respons Israel untuk bersuara atau merasa diwakili oleh pemerintah Jerman.
“Saya menghormati sejarah Jerman,” kata Shammout.
“Saya sangat memahami dukungan terhadap Israel sebagai sebuah negara, sebagai tempat yang aman bagi orang Yahudi, dan mengatakan ‘tidak akan pernah lagi’ Holocaust terjadi. Itu adalah bagian dari menjadi orang Jerman. Namun ketika tanggung jawab historis ini digunakan sebagai alasan untuk membenarkan pelanggaran hak asasi manusia secara besar-besaran, karena melanggar hukum internasional, maka hal ini membuat saya sedih dan marah dan saya tidak menerima apa yang disebut Staatsrason ini,” papar dia.
Shammout memiliki ayah Palestina dan ibu berkebangsaan Jerman, dan kakeknya yang terpaksa meninggalkan rumahnya selama Nakba 1948, dia mengetahui hal ini dengan sangat baik. “Ini menyakiti kedua pihak saya, pihak Palestina dan Jerman,” kata dia.
Shammout telah menghadiri dua demonstrasi pro-Palestina dalam beberapa pekan terakhir dan merasa ada batasan yang jelas terhadap kebebasan berekspresinya. “Kami tidak diperbolehkan, mengatakan kami menginginkan tanah air yang merdeka. Kami dilarang oleh polisi untuk hanya menggunakan sejumlah bendera tertentu,” kata dia.
“Saya tidak mendukung Hamas, dan saya sangat mengutuk serangan tersebut, namun saya mempunyai hak untuk melakukan protes, untuk berduka atas kematian kami,” lanjut diam
Shammout mengatakan teman-temannya dihentikan di jalan dan disuruh melepas keffiyeh mereka. Dia mengenal seorang pelajar Palestina yang diberitahu oleh polisi bahwa dia berisiko dituduh melakukan penghasutan dan kehilangan hak tinggalnya jika dia gagal menurunkan bendera Palestina dari balkon rumahnya.
“Saya selalu bangga menjadi orang Jerman yang berasal dari Palestina. Sekarang saya mulai meragukan identitas saya, seperti remaja,” ucap Shammout.
Semenjak serangan Hamas, ketegangan di Jerman meningkat. Meskipun unjuk rasa pro-Palestina telah dilarang di banyak kota besar dan kecil, namun unjuk rasa lainnya diizinkan untuk tetap dilaksanakan, dengan pedoman yang ketat.
"Terorisme tidak boleh dirayakan. Kami telah melarang demonstrasi yang bertujuan untuk menghasut antisemitisme, dan kebebasan berekspresi tidak boleh disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian," kata Komisi federal untuk kebijakan hak asasi manusia, Luise Amtsberg.
Sementara itu, ada peningkatan tajam dalam laporan serangan antisemit yang menargetkan sekitar 200 ribu populasi Yahudi di negara tersebut. Kelompok Rias, yang melacak antisemitisme, mengatakan pihaknya mencatat 994 insiden antara 7 Oktober dan 9 November, meningkat 320 persen dibandingkan periode yang sama pada 2022.
Islam merupakan bagian dari kelompok agama terbesar kedua di Jerman dengan jumlah penduduk 5,5 juta jiwa. Namun banyak umat Islam di Jerman mengatakan bahwa mereka menjadi sasaran yang tidak adil. Peningkatan besar dalam serangan Islamofobia juga tercatat, dan diduga masih banyak lagi yang tidak dilaporkan.
Imam muslim Scharjil Ahmad Khalid mengatakan keamanan ekstra diterapkan di masjid Khadijah miliknya di Pankow, Berlin utara. “Sama seperti serangan antisemitisme yang meningkat, permusuhan terhadap umat Islam juga meningkat,” kata dia.
Sementara seorang perawat yang lahir di Jerman dari orang tua Turki, Nazan (48) mengatakan dia telah mempertimbangkan untuk melepaskan paspor Jermannya karena sikap pemerintah. “Saya tidak lagi merasa betah di sini,” kata dia.