REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rumah sakit dan fasilitas medis di Gaza Palestina terjebak dalam konflik selama perang Israel di Gaza. Para pejabat Palestina mengatakan 22 rumah sakit dan 49 pusat kesehatan telah berhenti beroperasi karena serangan udara Israel.
Israel juga menghentikan semua pasokan bahan bakar dan listrik ke wilayah tersebut sejak 9 Oktober. Dilansir Middle East Eye, Senin (20/11/2023), rumah sakit terbesar di Gaza, Al Shifa, dikepung oleh tank-tank Israel, menyebabkan nasib ribuan orang yang terjebak di dalamnya tidak diketahui.
Sejak Hamas memenangkan pemilihan legislatif Palestina pada bulan Januari 2006, Israel telah berulang kali mengklaim bahwa fasilitas sipil di Gaza, seperti universitas, sekolah dan, yang paling penting, rumah sakit, adalah tempat persembunyian Hamas dan senjata mereka.
Meskipun pemerintah Israel belum memberikan bukti nyata untuk mendukung klaim tersebut, mereka telah berulang kali menggunakan bukti tersebut untuk membenarkan pemboman terhadap fasilitas sipil.
"Fakta ini merupakan kontroversi, dan dalam hal ini, Israel tidak memiliki sedikit pun bukti bahwa hal tersebut benar," kata pengacara hak asasi manusia Noura Erakat kepada Middle East Eye.
Erakat kemudian menyinggung soal "doktrin Dahiya", yang terbentuk setelah perang Israel dengan Hizbullah di Lebanon pada tahun 2006. Strategi militer dengan doktrin tersebut melibatkan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional terhadap infrastruktur sipil di wilayah yang bermusuhan dengan Israel untuk menghukum musuh-musuhnya, seperti yang dilakukan negara tersebut terhadap pinggiran kota Dahiya di Beirut saat itu.
"Doktrin tersebut pada dasarnya mengubah sasaran sipil menjadi sasaran militer, (tapi) kita melihat munculnya kerangka perlindungan manusia, dari tahun 2006 hingga sekarang," tutur Erakat.
Meskipun doktrin itu sendiri tidak disebutkan oleh pejabat Israel mana pun, seruan untuk hukuman kolektif sering terjadi. Israel berharap dapat mencapai tujuan strategisnya dengan mengambil alih Rumah Sakit Al Shifa tersebut. Area rumah sakit beserta para pengungsi dan korban luka di dalamnya, menjadi simbol penderitaan yang lebih luas dalam perang ini.
Direktur Human Rights Watch Israel dan Palestina, Omar Shakir menekankan, rumah sakit memiliki perlindungan khusus berdasarkan hukum kemanusiaan internasional. Sebelum eskalasi terbaru ini, pasukan Suriah dan Rusia menggunakan argumen serupa untuk membenarkan penargetan mereka terhadap rumah sakit dan fasilitas medis lainnya di Suriah.
Pasal 19 Konvensi Jenewa menetapkan bahwa unit-unit pelayanan kesehatan dalam keadaan apa pun tidak boleh diserang, tetapi harus selalu dihormati dan dilindungi oleh Pihak-pihak yang berkonflik.
Shakir mengatakan, rumah sakit kehilangan status keamanannya jika digunakan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap musuh. Human Rights Watch tidak menemukan bukti adanya kondisi yang termasuk dalam kondisi ini.
"Bahkan jika standar tertentu telah dipenuhi, rumah sakit tidak bisa menjadi zona bebas kebakaran," tambahnya, seraya menambahkan bahwa warga sipil yang tidak mengungsi tetap mendapatkan perlindungan berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.