Kamis 26 Oct 2023 22:15 WIB

Relawan Dompat Dhuafa Kisahkan Kondisi Terkini Tenaga Medis di Jalur Gaza  

Zionis Israel serang ambulans tanpa pandang bulu.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Warga Palestina memeriksa lokasi ledakan di rumah sakit al-Ahli, di Kota Gaza, Rabu, (18/10/2023).
Foto: AP Photo/Abed Khaled
Warga Palestina memeriksa lokasi ledakan di rumah sakit al-Ahli, di Kota Gaza, Rabu, (18/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Hukum humaniter Intern/asional melarang fasilitas medis diserang ketika peperangan terjadi. Namun aturan yang demikian tidak berlaku untuk rumah sakit dan ambulans yang berada di Palestina, khususnya Jalur Gaza, di tangan Zionis Israel. 

Sejak hari kedua serangan Israel, ambulans dan rumah sakit tak lagi aman. Seorang relawan Dompet Dhuafa di Gaza, Palestina dr Mohammed J Shabat menceritakan kisah-kisah tenaga medis di jalur Gaza. 

Baca Juga

dr Mohammed merupakan warga Gaza Palestina  dan dokter lulusan UIN Jakarta. Dia mulai bergabung sebagai relawan Dompet Dhuafa sejak 2021. Dia bergabung dengan mitra DD dalam organisasi al-Fursan Palestinian Emergency Association (FPEA).

"Hal yang paling sulit yang kami alami alami sebagai tenaga medis adalah  dalam mengevakuasi korban baik korban terluka dan yang telah wafat,"ujar dia dalam siaran langsung bersama DD di akun Youtube, Kamis, (26/10/2023).

dr Mohammed mengatakan dalam setahun terakhir ambulans yang telah disumbangkan DD ini terus beroperasi ke berbagai wilayah di Gaza untuk membawa pasien atau tugas-tugas medis lain. Ambulans memiliki imunitas terhadap serangan apapun karena dilindungi hukum internasional. 

Tetapi agresi kali ini sudah belasan ambulans menjadi target serangan Israel. Pemerintah Palestina pun mengumumkan bahwa Israel menduga bahwa ambulans yang mengatasnamakan satu lembaga akan menjadi target serangan.

"Israel menduga bahwa ambulans yang bergerak atas nama satu lembaga memiliki misi lain selain misi kemanusiaan sehingga mereka curiga dan menargetkannya," jelas dia.

Dia menyebut sulit sekali bagi ambulans bergerak bebas untuk membantu mengevakuasi korban serangan. Setiap ambulans yang bergerak harus mengantongi izin dari Kemenkes Palestina. 

Izin tersebut harus lengkap dengan identitas sopir dan tenaga medis, alat medis yang dibawa, tujuan ambulans beroperasi dan harus bergerak atas nama minimal dua lembaga kemanusiaan. Jika pemerintah telah memberi izin maka mereka diizinkan bergerak. 

"Namun jika ambulans tersebut nekat untuk beroperasi tanpa izin maka Israel tanpa aba-aba akan langsung memborbardir ambulans tersebut," tutur dia.

Meski memiliki keterbatasan dalam beroperasi, dr Mohammed bersyukur DD melalui FPEA rutin menyalurkan bantuan kepada Palestina. Tahap pertama, bantuan telah digunakan untuk kendaraan membawa jenazah.

Baca juga: Alquran Bolehkan Nepotisme dari Kisah Nabi Musa Tunjuk Nabi Harun Asisten? Ini Kata Pakar/

Tak hanya itu, melalui bantuan DD tahap pertama, mereka telah merekrut relawan di bidang medis, baik dokter, perawat dan petugas keamanan. Saat ini sudah ada 60 relawan tenaga medis baru yang telah bekerja di RS Indonesia, Gaza.

Untuk bantuan tahap kedua, rencananya akan segera direalisasikan. Selain kebutuhan  dasar individu, kebutuhan yang tak kalah penting adalah obat-obatan dan peralatan medis. 

Dr Mohammed mengaminkan bahwa tragedi yang terjadi di Palestina memang tragis bahkan lebih parah dari yang tersebar di dunia maya. Banyak anak-anak yang dioperasi atau dijahit luka tanpa anestesi. 

"Obat-obatan sangat langka, bayangkan dengan tujuh ribu orang terluka kami harus memprioritaskan korban yang gawat darurat, meski saat keadaan normal seharusnya mereka yang mendapat jahitan harus dilakukan anestesi lokal, tapi disini terbatas,"ujar dia.

Ada tiga rumah sakit besar yang menjadi prioritas dI Gaza saat ini yang butuh suplai obat-obatan. Yakni RS Indonesia, RS Kamal Adwan dan RS Al Awda, ketiganya berdekatan dan menjadi rujukan utama korban-korban terluka akibat  serangan Israel 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement