Ahad 22 Oct 2023 09:57 WIB

Hari Santri Nasional, SAS Institute Ingatkan Cita-Cita dan Perjuangan Para Santri

HSN tidak hanya milik dan untuk santri melainkan untuk semua yang berjiwa santri.

Dr H Saadullah Affandy, Direktur SAS Institute
Foto: istimewa
Dr H Saadullah Affandy, Direktur SAS Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap 22 Oktober merupakan salah satu bentuk pengakuan dan apresiasi Negara terhadap jejak perjuangan, kiprah, dan kontribusi kalangan santri terhadap bangsa ini. Pemilihan tanggal 22 Oktober sendiri bertepatan dengan peristiwa sejarah “Resolusi Jihad NU”, sebuah panggilan perlawanan dan perjuangan santri melawan kolonialisme Belanda di Surabaya pada 1945. 

Dr. H. Sa’dullah Affandy, Direktur Ekskutif SAS Institute menjelaskan, penetapan HSN tanggal 22 Oktober melalui Keppres No 22 Tahun 2015 ini atas usulan Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA. Awalnya, pemerintah ingin menetapkan HSN pada 1 Muharram, bertepatan dengan awal tahun Hijriyah. 

Baca Juga

Namun, Kiai Said, sebagai Ketua Umum PBNU waktu itu, mengusulkan tanggal 22 Oktober, bertepatan dengan peristiwa sejarah perjuangan dan perlawanan santri dalam rangka membebaskan negeri ini dari kungkungan dan cengkeraman penjajah.

"Said Aqil Siroj Institut (SAS) menegaskan bahwa HSN tidak hanya berkaitan dengan peristiwa masa lalu santri. Santri hari ini adalah penerus perjuangan santri-santri masa lalu, meneruskan cita-cita kemerdekaan, kedaulatan, dan keadilan," paparnya dalam keterangan persnya.

Sebagai bentuk kepedulian santri terhadap cita-cita dan perjuangan santri, kata dia, di tahun politik ini para santri berharap pemimpin yang akan terpilih nanti bisa membawa kemaslahatan, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Indonesia, sesuai dengan sila kelima Pancasila dan sejalan dengan kaidah fiqh “tasarruful imam ala al-raiyyah manutun bimaslahatil mar’iyyah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat). 

"Menginjak tahun politik ini SAS Institute menyerukan kepada seluruh kontestan Pemilu/Pilpres untuk mengedepankan etika politik, menghindari permusuhan dan perpecahan umat, tidak menggunakan politik identitas, hate speech, apalagi menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan," kata dia.

Hakikat kekuasaan, lanjutnya, adalah amanat dan tanggung jawab. Sebagaimana dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW: “kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun an raiyyatihi” (setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya). Dalam pandangan SAS kekuasaan hanyalah “wasilah” (perantara) bukan “maqasid” (tujuan). Tujuan kekuasaan adalah menciptakan dan mewujudkan kemaslahatan dan keadilan kepada seluruh umat. 

"Karena itu, seluruh kontestan Pemilu/Pilpres hendaknya tidak berhenti pada “wasilah” berupa kekuasaan tetapi bagaimana agar kekuasaan itu berdampak dan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi umat. Sebagaiman demokrasi kita tidak hanya berhenti pada demokrasi procedural melainkan beranjak pada demokrasi substantial. Tidak hanya berhenti pada demokrasi politik melainkan juga demokrasi ekonomi," kata dia.

Bagi warga Nahdhiyyin, lanjutnya, yang berbeda pilihan partai atau pilpres tetap menjaga ukhuwwah Nahdhiyyah (persaudaraan sesama warga NU), bagi sesama umat Islam juga pelihara ukhuwwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim ) dan untuk semua warga Indonesia kedepankan persaudaraan kebangsaan (ukhuwwah wathoniyah).

SAS Institut berharap momentum HSN ini mengingakan perjuangan para santri terdahulu yang mengedepankan pengabdian, ketulusan, dan keikhlasan dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini. SAS berterima kasih kepada negara dan pemerintah Jokowi yang telah melahirkan HSN. 

"HSN tidak hanya milik dan untuk santri melainkan untuk semua yang berjiwa santri, yaitu mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilan kesantrian, yaitu tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), ta’adul (keadilan), tawazun (seimbang). Selamat hari santri 2023, tetap jaya, berkah dan maslahah," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement