Sebuah perang meletus pada 7 Oktober, ketika kelompok Palestina Hamas melancarkan serangan yang sangat terkoordinasi terhadap Israel dari Jalur Gaza yang terkepung. Aksi ini mengakibatkan tewasnya ratusan orang dan menawan puluhan orang.
Israel menanggapi hal ini dengan kampanye pengeboman, yang telah menewaskan hampir 1.900 warga Palestina, termasuk lebih dari 500 anak-anak di Gaza. Pemerintah Israel juga mengumumkan blokade total terhadap Gaza, mencegah bahan bakar dan pasokan pokok lainnya memasuki wilayah tersebut.
Di sisi lain, Human Rights Watch (HRW) menuduh Israel menggunakan fosfor putih sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Aturan ini telah melarang penggunaan amunisi yang sangat mudah terbakar di daerah berpenduduk seperti Gaza, sebuah wilayah sempit yang dihuni oleh 2,3 juta orang.
Pada Jumat pagi, Israel memerintahkan lebih dari 1,1 juta warga Palestina di sana, yang mana hampir setengah dari populasi wilayah tersebut, untuk mengungsi ke selatan dalam waktu 24 jam. Pernyataan tersebut memicu kemarahan lebih lanjut dari kelompok hak asasi manusia.
Pada konferensi pers di Washington, Awad yang merupakan warga Amerika keturunan Palestina, menekankan perlunya mengatasi konteks sejarah konflik tersebut. Kelompok hak asasi manusia terkemuka, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, mengatakan Israel menerapkan sistem apartheid terhadap warga Palestina.
“Sejarah tidak dimulai pada 7 Oktober,” ucap Awad mengacu pada serangan Hamas. Dia menyebut Gaza sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, sebuah kritik yang sering muncul di kalangan aktivis hak asasi manusia yang mengecam upaya Israel membatasi pergerakan ke dan dari wilayah tersebut dan menahan penduduknya. Tidak hanya itu, Awad menyebut bahwa warga Palestina telah dikenakan segala jenis kekerasan, diskriminasi, hingga pembersihan etnis selama beberapa dekade.
Ia menggarisbawahi pembunuhan dua warga AS oleh Israel tahun lalu, jurnalis Aljazirah Shireen Abu Akleh dan pria lanjut usia Palestina-Amerika Omar Assad. Ia bahkan mengatakan bahwa nyawa mereka tidak penting bagi pemerintah AS.
Selanjutnya...