Kamis 10 Aug 2023 15:48 WIB

Sabah Sahkan RUU Pengakuan Pernikahan Muslim di Luar Negara Bagian

Hal ini dinilai akan menguntungkan mereka yang menikah di luar negeri.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Pernikahan dan menikah (Ilustrasi)
Foto: Republika
Pernikahan dan menikah (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KOTA KINABALU -- Pasangan Muslim yang menikah di luar Sabah sekarang akan diakui negara. Kebijakan ini berlaku setelah sebuah amandemen disahkan di majelis negara, Rabu (9/8/2023).

Menteri Agama Islam Negara Datuk Mohd Ariffin Mohd Arif mengatakan, amandemen pemberlakuan UU Keluarga Islam 2004 merupakan langkah praktis. Hal ini dinilai akan menguntungkan mereka yang menikah di negara bagian lain atau di luar negeri.

Baca Juga

“Pasangan harus mendaftarkan pernikahan mereka dalam waktu enam bulan, sejak tanggal mereka kembali ke Sabah. Perkawinan akan tercatat berdasarkan undang-undang negara bagian setelah pendaftaran mereka, selama tidak bertentangan dengan hukum Syariah," ujar dia dikutip di Malay Mail, Kamis (10/8/2023).

Amandemen tersebut juga disebut akan memungkinkan kebebasan pasangan untuk melakukan akad nikah di distrik manapun di Sabah atau Malaysia, tanpa terbatas pada kediaman pengantin wanita, seperti yang disyaratkan sebelumnya.

“Namun, itu masih harus mendapat persetujuan dari Panitera Perkawinan, Perceraian dan Rekonsiliasi untuk Muslim, hakim syariah atau otoritas negara masing-masing,” ujar Datuk Mohd Ariffin, dalam pidatonya saat mengajukan amandemen.

RUU tersebut sempat diperdebatkan oleh 12 anggota dewan. Dalam forum itu disampaikan dukungan untuk amandemen ini dan berharap RUU tersebut akan membantu pihak berwenang mengurangi kasus perceraian di negara bagian tersebut.

Menurut statistik Departemen Syariah, ada 3.037 kasus perceraian di Sabah. Selain itu, dari data 4.503 perceraian secara nasional antara orang asing dan orang Malaysia pada 2014 dan 2016, 1.067 di antaranya terjadi di Sabah.

Anggota dewan Sekong Alias Sani mengatakan, sebagian besar kasus perceraian yang melibatkan orang Malaysia dan orang asing adalah karena suami gagal memberikan dukungan keuangan, berada di penjara, kecanduan narkoba, melakukan kekerasan fisik atau meninggalkan istri dan anak mereka untuk kembali ke negara asalnya.

“Faktor utama penyebab krisis perceraian secara keseluruhan yang mempengaruhi pasangan Muslim, khususnya Malaysia, adalah masalah keuangan, tekanan emosional, kurangnya pengendalian diri atau kasus kemitraan yang tidak setara atau pernikahan dengan status sosial yang tidak setara,” ujar dia.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota dewan Kunak Norazlinah Arif juga menyoroti perlunya mengatasi masalah “perkawinan kampung”, antara orang asing yang tidak berdokumen dan penduduk setempat. Dia mengatakan pernikahan semacam itu menimbulkan masalah bagi negara atas status hukum anak-anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement