Rabu 31 May 2023 05:47 WIB

Tipu Muslihat Israel Caplok Situs Bersejarah Palestina Dengan Kedok Taman Nasional

Situs itu menampung sebuah gereja, masjid, dan sinagog yang berdampingan.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Bendera Israel (ilustrasi). Israel menganeksasi situs bersejarah Palestina, Nebi Samuel, yang terletak di wilayah pendudukan Tepi Barat untuk dijadikan taman nasional. Situs itu menampung sebuah gereja, masjid, dan sinagog yang berdampingan.
Foto: AP/Mahmoud Illean
Bendera Israel (ilustrasi). Israel menganeksasi situs bersejarah Palestina, Nebi Samuel, yang terletak di wilayah pendudukan Tepi Barat untuk dijadikan taman nasional. Situs itu menampung sebuah gereja, masjid, dan sinagog yang berdampingan.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel menganeksasi situs bersejarah Palestina, Nebi Samuel, yang terletak di wilayah pendudukan Tepi Barat untuk dijadikan taman nasional. Situs itu menampung sebuah gereja, masjid, dan sinagog yang berdampingan.

Israel menganeksasi situs bersejarah itu di bawah kedok taman nasional. Surat kabar Haaretz melaporkan, Israel telah berupaya untuk membersihkan etnis Muslim asli dan komunitas Kristen Palestina dari tanah Palestina yang bersejarah.

Baca Juga

Sejumlah kota dan desa Palestina diratakan dengan tanah untuk dibangun sebagai taman nasional. Ini adalah salah satu cara kolonisasi paling sukses yang digunakan oleh negara pendudukan Israel. Banyak situs yang menjadi sasaran pembersihan etnis dan penghapusan budaya telah diubah menjadi taman.

Nasib serupa tampaknya menanti warga Palestina di Nebi Samuel. Menurut alkitabah, daerah tersebut konon berisi makam Nabi Samuel yang terkubur selama ribuan tahun. Situs ini suci bagi orang Yahudi, Kristen, dan Muslim. 

Israel menduduki situs tersebut pada 1967. Masjid dan makam tersebut telah dikelilingi oleh desa Nebi Samuel.  Desa itu adalah rumah bagi lebih dari 1.000 penduduk.  Sebagian besar melarikan diri selama Perang Enam Hari.

Palestina menggambarkan perang itu sebagai siklus kedua pembersihan etnis oleh Israel.  Penduduk Palestina di desa itu dicegah untuk kembali ke rumah mereka.

Rencana Israel untuk mengambil alih situs sensitif tersebut terwujud secara nyata pada 1971 ketika Perdana Menteri Golda Meir memerintahkan militer untuk menghancurkan 46 rumah di desa tersebut. Dokumen Arsip Negara menunjukkan bahwa rumah-rumah itu dihancurkan untuk membangun satu-satunya pemukiman Yahudi. 

Namun, penyelesaian yang direncanakan tidak pernah terwujud karena organisasi lingkungan menentang pembangunan itu. Menurut mereka, pembangunan permukiman akan merusak lanskap. 

Jaksa Agung Meir Shamgar pada 1973, menjelaskan, jika pemilik tanah hadir, maka tanah tidak dapat diambil alih. Ketika itu penduduk Nebi Samuel menghadiri persidangan sengketa tanah. Pernyataan jaksa agung menegaskan bahwa tanah itu milik Palestina.

Dua puluh dua tahun kemudian, dua minggu sebelum penandatanganan Perjanjian Oslo II, para pemimpin Israel memutuskan sudah waktunya untuk menciptakan fakta di lapangan. Nebi Samuel dinyatakan sebagai taman nasional. Israel tidak memiliki hak untuk menyatakan wilayah di bawah kendali militer sebagai taman nasional. 

"Menciptakan taman nasional adalah pengakuan bahwa tanah tidak dapat diambil alih," kata jurnalis Israel Amira Hass kepada Haaretz, 

Hass menjelaskan, tipu muslihat dirancang untuk melewati batasan.  "Ketika mereka menyadari fakta bahwa daerah itu tidak dapat diambil alih dan dibangun, mereka melakukan trik politik, sehingga tidak ada yang bisa membangun di sana. Mereka secara efektif membuat Disneyland di sana dan bahkan mencopot tanda Nebi Samuel. Mereka membuat  kantong Yahudi lainnya di Tepi Barat," ujar Hass.

Penduduk Palestina yang tinggal di Nebi Samuel hampir tidak dapat berbuat apa-apa untuk memperbaiki kehidupan mereka.  Mereka tidak dapat membangun atau mengembangkan apapun. 

Mereka tidak bisa menanam pohon, memasang saluran pembuangan, atau memasang pagar.  Sejak Tembok Pemisah ilegal dibangun dua dekade lalu, penduduk benar-benar tertutup.  Pagar situs memisahkan mereka dari wilayah Tepi Barat.

"250 penduduk desa tinggal di kandang yang tidak dapat ditolerir. Mereka juga terputus dari Tepi Barat oleh tembok penghalang pemisah sebagai jalan apartheid," ujar akademisi Israel, Profesor Idan Landau, dikutip Middle East Monitor, Selasa (30/5/2023).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement