Jumat 21 Apr 2023 18:32 WIB

Khutbah Idul Fitri Prof KH Asrorun Niam: 3 Buah Ramadhan dan Jalan Menuju Takwa

Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan

Suasana sholat Idul Fitri (ilustrasi). Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Suasana sholat Idul Fitri (ilustrasi). Idul Fitri adalah momentum meneruskan kebaikan selama Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID,  Khutbah Pertama

الله أكبر الله أكبر الله أكبر -- الله أكبر الله أكبر الله أكبر -- الله أكبر الله أكبر الله أكبر الحمد لله وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَحْـدَهُ لاَ شَـرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُـوْلُهُ  لَا نَبِيَّ بَعْدَهْ. اَللَّهُمَّ صَّلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللهْ وَعَلَى الِهِ وَأَصْـحَابِهِ ومَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة

Baca Juga

 أَمَّا بَعْدُ: فَيَا مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِيْنَ أُوصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَا اللهَ فَقْدْ فَازَ الْـمُتَّقُوْنَ. وَقَدْ قـَالَ اللهُ تَعاَلَى فِي الْـقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ: " وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ " (البقرة: 186)  وقال النبي: "اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. (رواه الترمذي)

Hadirin, Jamaah Sholat Id rahimakumullah

Setelah sebulan kita melaksanakan ibadah Ramadhan, dan setelah melaksanakan Takbir sebagai pengagungan asma Allah SWT serta ibadah zakat fitri, maka kita semua hari ini berharap dapat menyempurnakan ibadah dengan berhari raya idul fitri.

Esensi dari Idul Fitri di bulan Syawal ini adalah semangat saling memaafkan, kerelaan hati untuk mengakui kesalahan untuk kemudian membuka diri untuk saling memberi dan menerima. 

Sikap saling memaafkan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ibadah puasa. Ibadah puasa mempunyai tujuan penciptaan pribadi yang taqwa, sementara sifat pemaaf mendekatkan pada ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya:

وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۗ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (البقرة: 237)

“Dan permaafan kamu itu lebih dekat pada taqwa, dan janganlah kau lupakan keutamaan antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang kamu lakukan”.

Dengan demikian, kesempurnaan fitrah yang kita harapkan ini adalah dengan saling memberikan maaf antar sesama, sebesar apapun dosa itu. Penghapusan dosa kepada Allah SWT jauh lebih mudah dari pada dosa kepada manusia.

Hal ini karena manusia mempunyai kecenderungan untuk tidak berbuat baik, akibat nafsunya. Untuk itu, melalui momentum ‘Idul Fitri, kita buka pintu maaf seluas-luasnya, kepada siapapun, dengan tanpa syarat apapun.

Allahu Akbar 3x, Hadirin, Jamaah Sholat Id, rahimakumullah

Sebulan penuh kita telah melaksanakan aktivitas ibadah, mulai shiyam hingga qiyam di bulan Ramadhan. Setidaknya ada tiga hal penting yang bisa dikontibusikan dari ibadah Ramadhan dalam penempaan diri kita menuju insan muttaqin, yaitu motivasi Imani (keimanan), pendekatan wiqai (preventif/pencegahan), dan fungsi ishlahy (perbaikan diri). Ketiganya jika bisa kita internalisasi, akan berkontribusi mewujudkan pribadi yang tangguh, sehat fisik dan mental, serta manfaat untuk sesama.

Allahu Akbar 3x, Hadirin, Jamaah Sholat Id, rahimakumullah

Motivasi Imani Penggerak Amal Kebaikan. Ibadah Ramadhan tersebut kita laksanakan dengan satu penggerak, yaitu keimanan kepada Allah SWT. Keimanan serta komitmen kepatuhan dan ketertundukan kita kepada Allah SWT adalah satu-satunya penggerak dalam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Puasa yang dimotivasi oleh keimanan akan memperoleh balasan pengampunan atas dosa yang telah kita lakasanakan, sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”  (HR Al Bukhari dan Muslim).

Motivasi utama dalam pelaksanaan ibadah puasa adalah keimanan dan niat yang kuat semata berharap ridho dan pahala dari Allah SWT.

Ibadah puasa yang dilaksanakan tanpa iman, tak diterima oleh Allah SWT. Tanpa niat, ibadah puasa kita tidak sah. Yang dimaksud berpuasa atas dasar iman yaitu berpuasa karena meyakini akan kewajiban puasa.

Sedangkan yang dimaksud ihtisab adalah berpuasa dengan niat mengharap balasan baik dari Allah SWT. Kaita berharap dan berdoa dengan penuh keyakinan, seusai Ramadhan dan di Idu Fitri ini, semoga kita memperoleh pengampunan atas dosa-dosa yang telah kita laksanakan. Amin Yaa Rabbal Alamin... 

Jika seseorang melaksanakan aktivitas kebaikan dengan motivasi iman dan niat yang kuat, maka pelaksanaan ibadah yang berat akan terasa ringan.

Sebaliknya, jika tidak ada niat yang kuat, maka ibadah yang ringan pun akan terasa berat. Dengan demikian, motivasi keimanan dan niat yang kuat akan memudahkan kita dalam melaksanakan ibadah. Ibadah akan menjadi ringan. 

Demikian juga dalam hal aktifitas keseharian kita, motivasi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan. Jika dilaksanakan dengan motivasi ibadah dan tekad yang kuat, maka aktivitas akan terasa ringan, mudah dikerjakan, dan memperoleh hasil maksimal.

Niat yang kuat muncul dari pribadi yang optimistis. Optimisme bahwa segala kesulitan akan melahirkan kemudahan; optimisme bahwa tak ada ujian yang tak bisa dilewati, optimisme bahwa sakit yang diberikan kepada kita semata karena sayang-Nya Allah kepada kita.

Optimisme bahwa ujian dalam kehidupan kita adalah cara Allah SWT untuk melatih kita bersabar dan cara Allah untuk mengangkat derajat kita. Optimisme bahwa Allah maha penerima taubat, seberapa besarpun dosa kita kita kita serius memohon ampun kepadanya.

Optimisme bahwa ketika kita meminta kepada Allah dengan segenap jiwa, maka Allah akan mengijabah doa kita. Sebagaimana tuntunan baginda Rasulullah SAW. 

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai.” (HR Tirmidzi)

Optimisme lahir dari sikap keimanan kepada Allah SWT. Motivasi Imani adalah kunci untuk membangun optimisme di dalam kehidupan pribadi, kehidupan keluarga, dan kehidupan sosial kita.

Dan salah satu indikator keimanan itu bisa menjelma pada sejauh mana kita bisa mengendalikan lisan kita. Sejauh mana kemampuan kita dalam memilih kata-kata yang baik dalam bertutur kata dan bermuamalah, atau diam. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (HR Bukhari).

Hadits di atas menjelaskan bahwa kita tidak pantas berbicara kecuali berbicara yang baik dan jelas-jelas mengandung maslahat. Bila diragukan kemaslahatannya, maka diam adalah langkah yang utama untuk dilakukan.

Demikian juga ketika ketika memperoleh informasi dari media digitial, endapkan, jangan terlalu cepat mengomentari dan/atau meneruskan, meski sepertinya baik, apalagi isinya merugikan orang lain.  

Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel  

Jadi berbicara menduduki posisi yang sangat strategis. Dengan iman dan ilmu, pembicaraan yang kita lakukan dapat mengundang berkah dan keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, berbicara terus-menerus tanpa ilmu, tanpa berpikir panjang akan mengantarkan kita pada kemurkaan-Nya. Puasa kita akan sia-sia, tersisa lapar dan dahaga.

Maka dari itu tidaklah berlebihan jika perkataan yang baik itu memiliki derajat yang lebih utama daripada sedekah yang diungkit-ungkit hingga menyakiti perasaan yang menerimanya.

قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS Al Baqarah ayat 263). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement