Kamis 16 Mar 2023 20:33 WIB

Said Aqil, Pajak, dan Tradisi NU : Cerita di Balik Layar

Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU

Ketua Dewan Pembina Islam Nusantara Foundation (INF) KH Said Aqil Sirodj. Kritik Kiai Said terkait pajak merujuk pada keputusan NU
Foto:

Oleh : M Halim Pohan, Bendahara Umum Islam Nusantara Foundation (INF) dan Dewan Pembina Jejaring Dunia Santri (JDS)

Di mata para Ulama, para kiai yang biasa hidup sederhana dan selalu bekerja keras, bisa berkarya besar tanpa harus ‘bergelimang’ fasilitas mewah dan lengkap.

Sejarah mencatat, banyak para ulama, para kyai melahirkan karya besar mengguncang dan mempengaruhi dunia justru dari pesantren terpencil, desa sederhana.

Untuk mengingat, gagasan besar dan mempengaruhi jagad, lahir dari  penyelenggaraan Munas -Konbes NU di Desa terpencil dan pesantren sederhana, misalnya pada 1986 Munas-KOnbes NU di Desa Kasugihan Kabupaten Cilacap, lahir gagasan besar mengenai pembagunan nasional dan konsep ijtihad yang mampu menggerakkan dunia pemikiran Islam. Lalu pada 1997 di Desa Bagu, NTB, menelorkan keputusan diperbolehkannya wanita menjadi presiden, yang saat itu dianggap masih sangat kontroversial. 

Munas ini merupakan forum tertinggi kedua setelah muktamar NU. Munas diadakan setidaknya dua kali dalam satu periode kepengurusan. Munas membahas masalah-masalah aktual keagamaan, kenegaraan–kebangsaan dan kemasyarakatan, dari perspektif Alquran, hadits, dan kitab kuning.

Dan keputusan Munas ‘Alim Ulama, tentu mengikat NU secara struktural dan mengikat warga NU secara moral. Kebetulan pada 2010 terjadi kasus pajak yang melibatkan pegawai Ditjen Pajak Gayus Halomoan Partahanan Tambunan.

Gayus, pegawai kecil, yang baru berumur 30 tahun itu disebut sudah memiliki uang senilai Rp 60 miliar, plus perhiasan senilai Rp 14 miliar. Kasus ini bergulir panjang.

Nah, kepada wartawan, KH Said menyinggung kembali keputusan Munas Alim Ulama NU pada 2012 tersebut. “Keputusan para para kiai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan mengambil sikap tegas. Warga NU tidak usah bayar pajak.

Waktu itu pascaputusan Munas terus bergulir menjadi opini dibeberapa media, menyentak masyarakat, para tokoh agama, para cendikiawan, pegiat anti korupsi dan menjadi diskursus publik.

Sampai-sampai Pak SBY (presiden saat itu) kirim utusan pribadi almarhum Muhammad Yusuf menemui saya. Keputusan Munas itu penetapannya berdasarkan referensi Alquran, hadits, dan kitab kuning. 

“Kalau pajak masih diselewengkan, warga NU akan diajak para kiai, bahwa warga NU tidak usah bayar pajak sebagai bentuk ketaatan atas keputusan Munas Alim Ulama,” kata mantan Ketua Umum PBNU dua periode tersebut.

Pernyataan ini mendapat reaksi yang cepat. Kamis, dua hari setelah pernyataan KH Said, Dirjen Pajak Suryo Utomo menemui Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf. Suryo didampingi para petinggi Ditjen Pajak, sedangkan Gus Yahya didampingi Alisa Qotrunnada (putri Gus Dur) dan Jusuf Hamka (taipan yang juga anak angkat Buya Hamka, kini baru menjadi salah satu pengurus di PBNU).

“Gus Yahya menegaskan PBNU tak pernah membuat seruan untuk boikot bayar pajak, karena NU selalu seiring sejalan dengan pemerintah,” kata Jusuf Hamka.

Jusuf bahkan menyatakan kasus pribadi atau oknum tak patut dikaitkan dengan institusinya. Mengutip Jusuf dalam sebuah media nasional, “Apa yang disampaikan Kiai Said Aqil kurang bijaksana”. “Sebagai ulama yang kita hormati bersama sebaiknya tidak provokatif lah,” katanya.

 

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Respons juga datang dari Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), salah satu ketua PBNU, sehari setelah pernyataan Kiai Said, yakni pada Rabu, 1 Maret 2023. “Sebagai warga negara yang baik kita wajib tunduk dan patuh terhadap UU dan aturan pemerintah yang berlaku.

Rasa kekecewaan dan kemarahan atas kasus kekerasan dan penyelewengan yang melibatkan oknum pejabat dan pegawai pajak tidak boleh dilampiaskan dengan cara-cara yang salah, misal dengan tidak mau membayar pajak,” katanya dalam pernyataan di media. 

Gus Fahrur juga menyampaikan posisi ideologi politik NU. “Sejak dahulu dalam ideologi Islam Nahdlatul Ulama tidak boleh membangkang terhadap pemerintahan yang sah. Kita berkewajiban tunduk kepada pemerintah, dan menjaga keutuhan NKRI. Negara ini harus tetap tegak dan lebih mahal dari sekadar urusan kemarahan terhadap orang per orang,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement