REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaludin menilai pembentukan Kalender Islam Global sulit terwujud karena masih kentalnya perbedaan dalam menentukan bulan Kamariah/Hijriyah.
"Kalender Islam Global itu menganggap satu wilayah di dunia sebagai satu hari atau satu tanggal. Tentu ada plus minusnya. Plusnya kita bisa menentukan bulan sama-sama tapi secara teknis ini sulit," ujar Thomas di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Thomas mengatakan ada tiga syarat yang mesti dipenuhi untuk mendapatkan satu kalender utama persatuan Islam yang mapan. Pertama, harus ada kesepakatan kriteria. Kedua, harus ada kesepakatan batas tanggal, dan ketiga, ada otoritas tunggal.
Ia menjelaskan pedoman kriteria dalam penentuan Bulan Kamariah di Indonesia masih berbeda-beda di antara ormas Islam. Muhammadiyah menggunakan Wujudul Hilal untuk menentukan penanggalan, sementara Nahdlatul Ulama dan Persis memedomani Imkan Rukyat.
Adapun pemerintah melalui Kementerian Agama telah menggunakan kriteria baru yang disepakati Menteri-Menteri Agama dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan kriteria posisi bulan tinggi minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Imkan Rukyat yang digunakan sejumlah organisasi Islam disebut sama dengan kriteria MABIMS. Sementara kriteria Wujudul Hilal, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, pada saat Matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.