Sabtu 25 Feb 2023 12:04 WIB

Probelamatika Umat Islam: Ketimpangan Ekonomi, Politik, Islamofobia, Hingga SDM

Problematika dan Tantangan Umat Islam di Indonesia: Kini dan Esok

Majis taklim. (ilustrasi)
Foto:

Beda Islamophobia di Barat dengan Indonesia

Melihat Islamphobia di Indonesia berbeda dengan melihatnya di negara barat, seperti di Amerika misalnya Di barat, Islamophobia terjadi karena persepsi mereka terhadap Islam sebagai ajaran yang rendah dan barbar, yang masih mengakar dari era kolonial dahulu.

Dalam skope negara dan global, Islamophobia di sana merupakan produk “proxy war”, yang sejak dulu dikembangkan barat untuk meracuni pikiran manusia tentang hirarki peradaban, di mana ajaran barat tentang peradaban merupakan model yang harus ditiru. Kelompok-kelompok Islam, di barat, merupakan kelompok minoritas, yang umumnya datang ke sana sebagai masyarakat migrant. Kelompok ini sering mendapatkan perlakuan buruk.  

Di Indonesia, Islamophobia sangat terkait dengan kecenderungan struktural penguasaan kekayaan alam dan berbagai aset strategis bangsa kita, sejak jaman kolonial. Segelintir orang-orang yang non Islam merupakan pemilik kekayaan mayoritas bangsa, yang umumnya diperoleh dengan menyingkirkan prinsip-prinsip keadilan. Ketakutan akan Islam bangkit karena Islam menjadi ajaran yang mengutamakan keadilan dan keberlanjutan. Jika Islam menjadi sumber ajaran bangsa, maka tidak mungkin ada lagi segelintir orang bisa mengendalikan perekonomian nasioanal.

Alhasil, segelintir elit ini, baik melalui tangannya menguasai negara, maupun kekuatan lainnya untuk memecah belah, berusaha membuat Islam steril dari agenda kekuasaan. Islam hanya boleh hadir sebagai agama individual saja. Strategi mereka antara lain saat ini dengan menarasikan “Politik dentitas”, untuk menyudutkan pihak yang berpotensi mengasosiasikan diri pada kebangkitan Islam. 

Tantangan kedua umat Islam adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial. Oxfam, sebuah NGO Internasional berbasis di Inggris, 2017, mamaparkan temuannya bahwa ada 4 orang terkaya di Indonesia yang kekayaannya setara dengan 100 juta orang terbawah di Indonesia. Segelintir orang-orang terkaya dan 1 persen lapisan kaya lainnya di Indonesia, menguasai berbagai aset strategis, berupa tanah-tanah perkotaan maupun perkebunan, tambang dan hutan. Mereka juga adalah pemilik rekening bank-bank dan mengendalikan perputaran uang di Indonesia. Sebagian mereka disebutkan mempunyai belasan ribu triliun di luar negeri, yang terungkap dari penyelenggaraan “tax amnesty” beberap saat lalu. Mereka tersebut, dalam “World On Fire”, karangan Professor Amy Chua, adalah kelompok minoritas, yang artinya bukan umat Islam. 

Ketimpangan ini akan terus berkembang dan berkembang karena model pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada jalan neoliberal. Return to Capital yang dihasilkan dari perputaran uang mereka akan membuat mereka kaya berkali-kali lipat. Model pembangunan neoliberal, yang menyerahkan sepenuhnya pada kompetisi pasar bebas, akan semakin mencekik kehidupan umat. Akhirnya, sebagaimana dilansir ADB Bank, 2018, ada 22 juta orang Indonesia yang mengalami kesulitan makan. Mereka tentu saja mayoritasnya umat Islam.  

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement