REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf atau yang akrab dipanggil Gus Yahya berharap Muktamar Internasional Fikih Peradaban I bisa menginisiasi bergulirnya wacana mengenai fikih peradaban dalam konteks global. Menurut dia, para ulama internasional dapat bersinergi dalam mengupayakan wacana tersebut.
"Tujuan dari Muktamar Internasional Fikih Peradaban ini menginisiasi diskursus wacana tentang peradaban seperti apa yang hendak kita inginkan bagi masa depan umat manusia," ujar Gus Yahya saat Konferensi Pers di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Ahad (5/2/2023).
Gus Yahya melihat ada kekosongan cukup besar di tengah arus wacana toleransi dan moderasi beragama. Karena itu, PBNU menggelar Muktamar Internasional Fikih Peradaban guna menjaring pandangan para ulama ahli fikih mengenai hal tersebut.
"Kita hendak memulai satu perbincangan satu wacana yang serius di kalangan para ulama ahli fikih tentang bagaimana sebetulnya wawasan peradaban itu dikaitkan dengan nilai syariah yang valid," ucap kiai kelahiran Rembang, Jawa Tengah, 56 tahun ini.
Gus Yahya menegaskan bahwa kegiatan itu bukan satu agenda yang kecil, melainkan agenda raksasa. Sebab, hal tersebut melewati pergulatan yang tidak ringan. Namun, menurut dia, PBNU memberanikan diri untuk melaksanakannya sebagai proses keilmuan yang valid untuk kebaikan di masa depan.
"Proses keilmuan yang valid tentang bagaimana umat Islam memperjuangkan masa depan peradaban lebih baik untuk semua orang," kata Gus Yahya.
Muktamar Internasional Fikih Peradaban I akan digelar di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023). Forum para ahli hukum dan mufti dari berbagai negara tersebut akan membicarakan berbagai isu modern, mulai dari konsep Islam tentang negara modern, soal relasinya dengan non-Muslim, hingga terkait tata politik global.
Sementara itu, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU, KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan, soal urgensi pembahasan dalam muktamar internasional ini antara lain karena umat Islam masa kini sedang menghadapi realitas baru.
Munculnya institusi negara bangsa di era modern, kata Gus Ulil, mengubah konstelasi banyak hal pada kehidupan di muka bumi ini. Di antaranya ada konsep kewarganegaraan serta konsep mengenai hukum yang terdikotomi menjadi dua, yakni hukum negara dan hukum agama. Kemudian ada pula konsep mengenai minoritas.
Di samping itu, kemunculan negara bangsa di era modern juga disertai dengan munculnya lembaga multilateral yang mengatur hubungan antarbangsa, yaitu PBB.
PBB merupakan institusi yang secara de facto menjaga ketertiban dunia meskipun tentu saja tidak sempurna dalam bekerja untuk perdamaian dunia. PBB ini institusi yang tidak pernah ada di dalam sejarah pengalaman umat Islam.
Di PBB, sambungnya, ada suatu dokumen yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia di muka bumi, yaitu Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Universal.
"Nah, kalau kita menganggap PBB ini adalah institusi yang valid secara keagamaan atau fikih, artinya kita harus mengikuti kesepakatan yang disepakati oleh negara-negara modern, berupa konvensi-konvensi yang diputuskan oleh PBB," jelas Gus Ulil.
Apabila ulama dan negara-negara Muslim di dunia sepakat untuk bergabung dengan PBB maka seluruh dokumen yang dihasilkan harus mengikat seluruh umat Islam sedunia.