Jilbab mempersulit pencarian kerja
Muslimah yang mengenakan jilbab merasa sangat sulit untuk mendapatkan akses ke pasar tenaga kerja, menurut sebuah studi dari tahun 2016 di mana 1.500 lamaran kerja fiktif dikirim.
Hasilnya, wanita berjilbab dan nama Turki harus melamar empat kali lebih sering dari wanita berkualifikasi sama dengan nama khas Jerman tanpa jilbab untuk diundang wawancara. Untuk pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi lebih tinggi, mereka harus melamar hingga delapan kali lebih sering.
Dr Asmaa El Idrissi, petugas antidiskriminasi dan keragaman kota Bochum mengalami hal serupa sebelum dia menemukan pekerjaannya saat ini.
“Dari 120 lamaran, saya diundang ke maksimal 10 wawancara, meskipun saya sangat cocok dengan pekerjaan itu,” katanya. “Semakin tinggi posisi yang Anda lamar, semakin tinggi diskriminasinya,” tambahnya.
El Idrissi pernah mengepalai jaringan anti-diskriminasi di Hesse, di mana dia mengalami jumlah yang luar biasa kasus di mana perempuan Muslim bahkan tidak diundang untuk melihat flat. “Di sana, nama yang terdengar asing sudah menentukan,” katanya.
Menurut Ataman, perempuan harus meminta nasihat dalam hal ini dan tidak mentolerir diskriminasi. “Mengenakan jilbab mewakili komitmen pribadi dan religius – dan kita harus menerimanya,” tegasnya.
Perlu reformasi
Untuk memperkuat perlindungan terhadap diskriminasi, El Idrissi, seperti Alabali-Radovan dalam laporan situasinya, mengatakan bahwa negara bagian federal juga harus turun tangan untuk mengesahkan undang-undang di wilayah di mana pemerintah federal tidak memiliki kompetensi. Berlin adalah negara bagian pertama yang memperkenalkan undang-undang antidiskriminasi negara bagian pada 2020.
“Jerman sedang dalam fase pembukaan, tetapi saya mendapat kesan bahwa Jerman telah mengalami kemunduran lagi dalam beberapa tahun terakhir,” katanya, mengacu pada penembakan di Halle dan Hanau masing-masing pada tahun 2019 dan 2020, yang dipicu kebencian rasial.