REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Afiliasi ISIS yang berbasis di Afghanistan mengatakan pihaknya melakukan pemboman bunuh diri di luar Kementerian Luar Negeri di Kabul pada Rabu (11/1/2023). Bom bunuh diri tersebut telah menewaskan sedikitnya lima orang dan melukai 40 lainnya.
“Seorang anggota ISIS lolos dari penjagaan keamanan Taliban sebelum meledakkan dirinya di tengah-tengah karyawan dan penjaga,” kata Kantor Berita Amaq dari kelompok teroris cabang lokal pada aplikasi pesan Telegram.
Cabang ISIS setempat, yang dikenal sebagai Islamic State-Khorasan, mengklaim bahwa ledakan itu menewaskan sedikitnya 20 orang, termasuk beberapa pegawai diplomatik.
Dilansir dari The National News, Kamis (12/1/2023), juru bicara polisi Kabul Khalid Zadran mengatakan lima warga sipil tewas dan beberapa lainnya luka-luka akibat ledakan itu.
Pengeboman itu adalah yang terbaru diklaim ISIS dalam serangkaian serangan terhadap orang asing atau kepentingan asing dalam beberapa bulan terakhir.
Serangan itu terjadi pada saat Taliban berusaha menarik investasi asing untuk menopang ekonomi yang menderita di bawah isolasi internasional Afghanistan, setelah mereka merebut kekuasaan pada Agustus 2021 lalul.
Setidaknya lima warga China terluka ketika orang-orang bersenjata menyerbu sebuah hotel di Kabul yang populer di kalangan pebisnis China pada 12 Desember 2022 lalu.
Serangan itu terjadi beberapa hari setelah gerilyawan menyerbu kedutaan Pakistan di Kabul dalam apa yang dikatakan Islamabad sebagai upaya pembunuhan terhadap diplomat tertingginya di sana. Kedua serangan tersebut diklaim ISIS, seperti halnya bom bunuh diri di kedutaan Rusia pada September tahun lalu.
"Seharusnya ada delegasi China di Kementerian Luar Negeri hari ini, tapi kami tidak tahu apakah mereka hadir pada saat ledakan itu," kata Wakil Menteri Informasi dan Kebudayaan Taliban, Muhajer Farahi, kepada AFP.
Namun, Ahmadullah Muttaqi, seorang pejabat senior di kantor Perdana Menteri, mengatakan tidak ada orang asing yang hadir di kementerian saat pelaku bom bunuh diri menyerang.
Negara tetangga China adalah salah satu dari sedikit negara yang mempertahankan hubungan diplomatik dengan penguasa baru Afghanistan. Beijing belum mengakui pemerintah Taliban tetapi tertarik pada deposit mineral yang sangat besar di Afghanistan, yang sebagian besar tidak mungkin dieksploitasi selama perang 20 tahun setelah berakhirnya pemerintahan Taliban sebelumnya pada akhir 2001.
Sumber: thenationalsnews