Oleh : KH Dr Ade Muzalini Lc MA, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Kota Tangerang dan Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Peristiwa nyawer qariah yang terjadi di Pandeglang, Serang, Banten beberapa waktu lalu, menyita perhatian publik. Insiden ini pun memicu protes dan kecaman dari berbagai kalangan, penekanannya adalah soal hilangnya adab dan etika mendengarkan Alquran.
Padahal, Islam sangat memperhatikan adab. Saking pentingnya adab, dalam ranah apapun, sampai-sampai sebuah adagium mengatakan:
ألأدب فوق العلم “Adab itu di atas ilmu”.
Atau, dalam adagium lain dikatakan:
ألأدب فوق الكل “Adab di atas segalanya”.
Dalam Hilyatul Awliyâ' dikisahkan bahwa Malik bin Anas pernah berkata:
تعلم الأدب قبل أن تتعلم العلم “Pelajarilah adab sebelum engkau pelajari ilmu.”
Saat orang tua kita, guru kita, atasan atau pimpinan kita sedang berbicara dengan kita, sikap normal kita tentu yaitu lisan kita diam dan telinga kita mendengarkannya. Itu adalah adab yang standar.
Lalu bagaimana jika Tuhan yang menciptakan kita, yang menciptakan semesta alam, yang serba Maha, sedang berbicara dengan kita melalui firman-Nya?
Yang perlu kita sadari bahwa Alquran adalah kalâmullâh, perkataan Allah SWT, atau biasa kita sebut dengan firman Allah SWT. Diam dan mendengarkan, itulah adab standar yang Allah SWT tuntut dari kita:
وَاِذَا قُرِئَ الْقُرْاٰنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat. (QS Al-A'raf ayat 204)
Asbâb an-nuzûl (sebab turunnya) ayat di atas memang terkait dengan bacaan Alquran di dalam shalat. Namun, sebuah kaidah mengatakan:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
“Ibrah (pelajaran) diambil dari keumumam redaksi, bukan dari kekhususan sebab yang melatarbelakangi.”
Seperti kasus di luar konteks bacaan Alquran di saat sholat yang tercantum di dalam ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma'tsûr yang lazim disingkat dengan Tafsîr As-Suyûthiy:
وأخرج أبو الشيخ عن عثمان بن زائدة، أنه كان إذا قرئ عليه القرآن غطى وجهه بثوبه، ويتأول من ذلك قول الله {وإذا قرئ القرآن فاستمعوا له وأنصتوا} فيكره أن يشغل بصره وشيئا من جوارحه بغير استماع
Diriwayatkan oleh Abu as-Syeikh dari Utsman ibn Zaidah bahwa jika Alquran sedang dibacakan di hadapannya maka ia menutup wajahnya dengan pakaiannya, sebagaimana yang ia pahami dari ayat {Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah...}, karena ia tidak suka matanya serta seluruh anggota tubuhnya disibukkan oleh sesuatu selain mendengarkan (ayat yang sedang dibacakan).
Maka menjadi abnormal dan niradab (tidak beradab) ketika firman Tuhan dibacakan, dan sikap kita justru jauh dari adab diam dan mendengarkan, alih-alih berupaya untuk memahami artinya dan menyelami maknanya, untuk kemudian mentaati setiap perintah dan larangan yang termuat di dalamnya dan berakhlaq mulia sesuai tuntunannya.
Seperti yang saat ini sedang heboh yaitu nyawer qari/qariah yang sedang membaca Alquran. Sambil diselingi suara-suara riuh tawa dan sejenisnya.
Baca juga: Al-Fatihah Giring Sang Ateis Stijn Ledegen Jadi Mualaf: Islam Agama Paling Murni
Meski atas nama budaya manapun, sikap seperti itu sudah mengkhianati adab standar yang diajarkan Alquran itu sendiri. Dalam al-Burhân fî 'Ulûm al-Qur'ân dikatakan:
استماع القرآن والتفهم لمعانيه من الآداب المحثوث عليها، ويكره التحدث بخضور القرآن. قال الشيخ أبو محمد بن عبد السلام: والإشتغال عن السماع بالتحدث بما لا يكون أفضل من الاستماع سوء الأدب على الشرع
“Fokus menyimak (bacaan) Alquran dan berupaya untuk memahami kandungan maknanya adalah termasuk dari adab yang ditekankan. Dan berbicara saat Alquran dibacakan adalah hal yang dibenci. Syekh Abu Muhammad ibn Abdus Salam berkata, “Sibuk berbicara tentang hal-hal yang tidak lebih baik dibanding mendengarkan (Alquran) adalah adab yang buruk terhadap syariat.”
Demikianlah, semoga fenomena nyawer qari/qariah tidak menjadi tradisi yang justru mengkhianati Alquran dan menghilangkan keberkahan bacaan Alquran itu sendiri.