REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebut sertifikasi nazir merupakan hal yang krusial untuk dilakukan. Menanggapi ini, Pengamat Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI Azis Setiawan menyampaikan, adanya sertifikasi tersebut dapat membantu dalam profesionalisme pengelolaan wakaf.
Melihat perkembangan gerakan wakaf di Indonesia dan dunia, ia menyebut ada harapan dan keinginan besar pengelolaan wakaf yang lebih profesional. Diharapkan hal ini akan menjadi sebuah korporasi dengan tata kelola dan akuntabilitas yang baik, serta berkelanjutan untuk bisa tumbuh besar dan membawa manfaat yang lebih luas.
"Untuk mendukung cita-cita tersebut, tentu membutuhkan SDM yang profesional. Nazir sebagai satu profesi baru, membutuhkan seperangkat kompetensi, keahlian dan kemampuan profesional, untuk mewujudkan hal tadi," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (8/12/2022).
Azis menyebut nazir merupakan SDM yang akan bertanggung jawab dalam mengelola dan mengembangkan aset-aset wakaf yang ada. Profesi ini memiliki karakteristik yang unik dan berbeda dibanding profesi yang lainnya.
Ada seperangkat pemahaman dan kemampuan yang harus dikuasai untuk menjadi seorang nazir. Di dalamnya ada batasan syariah, aspek terkait fikih yang harus dikuasai dalam pengelolaan, manajemen, pendayagunaan, optimalisasi aset wakaf dan nilai kenaziran itu sendiri. Wakaf merupakan terminologi yang khusus dalam khusus ekonomi Islam.
"Dengan begitu, nazir merupakan profesi khusus yang dengan cita-cita besar tadi harus dibangun serangkaian kompetensinya. Karena itu, proses sertifikasi dibutuhkan," lanjutnya.
Jika profesi nazir tidak dikembangkan, Azis menyebut hal ini akan berjalan seperti pengelolaan wakaf tradisional dan tidak berkembang menjadi suatu kelembagaan atau organisasi yang lebih baik. Karena itu, harapannya dengan pengembangan yang lebih kuat, profesi ini bisa diminati oleh generasi baru, yang mana sangat baik dan memiliki prospek yang bagus.
Melihat kondisi saat ini, masih banyak nazir yang mengelola wakaf dengan cara tradisional sehingga tidak ada perkembangan profesinya. Kebanyakan mereka mengelola aset wakaf yang sifatnya tidak bergerak, atau non-uang.
Hal ini disebut bukanlah harapan dari desain gerakan pengembanagn wakaf yang ada. Perlu dilakukan transformasi, agar gerakan wakaf dan kelembagaannya semakin profesional dengan visi pengembangannya lebih besar.
"Untuk menjadi nazir, siapa saja yang berminat bisa mengikuti serangkaian kegiatan pendidikan atau pembinaan profesi, melalui pelatihan dan sertifikasi. Selama ini mungkin masih banyak publik yang memahami, sehingga belum terlihat sebagai profesi yang menarik atau memiliki masa depan prosprektif, jadi hanya sedikit yang berminat," ucap dia.
Lebih lanjut, Azis menyampaikan jika profesi nazir ke depan sudah berkembang dan dipahami secara luas, kemungkinan akan semakin banyak generasi muda potensial yang tertarik. Dana publik (wakaf) yang dikelola jika semakin besar, tentu membutuhkan sejumlah kemampuan (skill) yang lebih baik dan SDM yang lebih banyak.