Rabu 21 Sep 2022 09:00 WIB

Studi: 86 Persen Konten Anti-Muslim Bersumber di AS, Inggris, dan India

Amerika Serikat (AS), Inggris, dan India sumbang 86 persen dari konten anti-Muslim.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Agung Sasongko
Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Menurut sebuah studi baru, perusahaan media sosial sekarang harus memusatkan perhatiannya pada perilaku pengguna di tiga negara khususnya, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan India yang menyumbang 86 persen dari konten anti-Muslim di Twitter selama periode tiga tahun.

Dilansir dari laman TRT World pada Selasa (20/9) Studi oleh Islamic Council of Victoria (ICV) menemukan hampir empat juta postingan anti-Muslim dibuat selama periode 24 bulan antara 2017 dan 2019. Sementara itu, ICV merupakan badan Muslim puncak di negara bagian Victoria Australia yang mewakili sekitar 270 ribu anggota komunitas.

Baca Juga

Di samping itu, ICV juga menandai lingkaran setan kebencian yang bermanifestasi dalam serangan online dan offline terhadap komunitas secara global. Pengguna India saja menghasilkan lebih dari setengah dari posting yang penuh kebencian dan menyakitkan.

Di antara pengguna Twitter yang berbasis di India, para peneliti menyalahkan partai yang berkuasa di India Bharatiya Janata Party (BJP), atas penyebaran dan penguatan kebencian anti-Muslim. “BJP telah secara aktif menormalkan kebencian terhadap Muslim seperti 55,12 persen anti-Muslim. Kicauan kebencian Muslim sekarang berasal dari India,” sebutnya.

 

ICV juga menunjuk pada undang-undang diskriminatif yang menolak kewarganegaraan Muslim dan hak-hak sipil lainnya terkait munculnya kebencian anti-Muslim secara online di antara akun Twitter India.

Sementara di Amerika Serikat, menurut para peneliti, penyebaran kebencian anti-Muslim di Twitter hampir tidak dapat dipisahkan dari retorika dan kebijakan kebencian mantan presiden Donald Trump. Itu menempati peringkat ketiga pengguna yang paling sering disebutkan dalam posting anti-Muslim, dengan banyak tweet yang terkait dengan membela larangan imigrasi Muslim dan teori konspirasi anti-Muslim.

Di sisi lain, Inggris, para peneliti mengaitkan prevalensi tweet anti-Muslim dengan banyak faktor. Termasuk jangkauan global animus anti-Muslim Trump, sentimen anti-imigrasi yang dipicu oleh krisis pengungsi, dan wacana seputar Brexit, bersama dengan rasisme kasual mantan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Dia pernah membandingkan wanita Muslim yang mengenakan niqab dengan kotak surat.

Dengan menganalisis konten anti-Muslim yang diproduksi oleh ketiga negara tersebut, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa tema utama. Ini termasuk keterkaitan Islam dengan terorisme, penggambaran Muslim sebagai pelaku kekerasan seksual, ketakutan bahwa Muslim ingin menerapkan Syariah pada orang lain. Kemudian juga konspirasi yang menuduh imigran Muslim menggantikan kulit putih di Barat dan Hindu di India, dan karakterisasi halal sebagai praktik tidak manusiawi.

“Namun, yang lebih memprihatinkan adalah penemuan kami bahwa hanya 14,83 persen tweet anti-Muslim yang akhirnya dihapus,” kata para peneliti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement