REPUBLIKA.CO.ID, BISHKEK – Para imam di Kirgizstan akan menyampaikan khutbah tentang moralitas dan tidak dapat diterimanya kekerasan.
Hal ini disampaikan Direktorat Spiritual Muslim Kirgistan (SDMK) dalam keterangan persnya.
Khutbah dengan tema ini akan disampaikan di semua masjid di Kirgizstan. Adapun ide tersebut digagas oleh seorang Mufti Zamir Rakiev.
Dilansir di 24 Kirgizstan, Kamis (8/9/2022), doa dengan tema ini akan terus diadakan hingga 12 September.
Adapun alasan yang mendasari ide ini adalah insiden skandal di Distrik Kadamdzhai. Diketahui dalam insiden tersebut ada tiga pria yang memperkosa dan membunuh seorang siswi.
"Khutbah-khutbah tersebut diadakan dalam rangka menyampaikan tidak dapat diterimanya serangan terhadap kehidupan manusia, pencegahan kekerasan terhadap remaja, perempuan, dan dosa perzinahan," tulis SDMK dalam siaran persnya.
Tak hanya itu, lembaga tersebut juga menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada orang tua dan kerabat gadis yang terbunuh.
Tiga pria diduga memperkosa dan membunuh seorang siswi di distrik Kadamdzhai. Mayatnya ditemukan di terowongan dekat desa Noogardan, dengan warga setempat melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
Jejak kematian yang kejam ditemukan di tubuh gadis itu, dengan bukti bekas dicekik dan tangannya yang terikat. Presiden Sadyr Japarov mengambil alih kasus ini.
Terus berkembang
Negeri yang beribu kota di Bishkek itu memiliki total populasi hingga tujuh juta jiwa. Sekitar 80 persen masyarakat setem pat menganut agama Islam, sedangkan 15 persen lainnya merupakan pemeluk Kristen Ortodoks.
Menurut Mukaram Toktogulova dalam artikelnya berjudul "Islam in the Context of Nation- Building in Kyrgyzstan: Reproduced Practices and Contested Discourses (2019), Kirgizstan mengalami "kebebasan beragama" setelah lepas dari Uni Soviet pada 31 Agustus 1991.
Ketika masih dikuasai negara adidaya berideologi komunisme itu, masyarakat setempat dilarang menampakkan identitas agamanya di ruang-ruang publik. Sejak 1990-an, mereka dapat dengan leluasa membangun rumah-rumah ibadah, sekolah-sekolah agama, dan berbagai organisasi religius.
Akademisi American University of Central Asia itu mengatakan, proses kebebasan itu pun berlang sung dalam konteks pembangunan bangsa (nation-building). Sebagai contoh, pemerintah setempat tidak hanya menjadikan berbagai hari perayaan keagamaan sebagai hari libur, tetapi juga menyemarakkannya.
Di sana, Orozo Ait (Idul Fitri) dan Kurman Ait (Idul Adha) dirayakan secara besar-besaran dengan dukungan penuh pemerintah. Hal ini semakin menegaskan perbedaan kondisi antara Kirgizstan kini dan ketika masih di bawah rezim Uni Soviet silam.
Toktogulova menjelaskan, hanya terdapat 39 unit masjid di seluruh Kirgizstan saat puluhan tahun dikuasai komunisme. Begitu merdeka pada 1991, jumlah masjid di sana melesat hingga 2.740 unit. Begitu pula dengan organisasi masyarakat (or mas) Islam, yakni sebanyak 67 ormas pada 2013 menjadi 112 ormas pada 2018.
Jumlah madrasah juga melonjak hingga 102 unit dengan total murid men capai enam ribu orang. Jamaah haji asal Kir giz s tan juga terus meningkat dari tahun ke tahun, yak ni sebanyak 2.150 orang pada 2000 menjadi 3.685 orang dan 4.585 orang pada 2016 dan 2017 lalu.
Sumber: 24.kg