REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Syamsul Yakin
Iman itu adalah perkataan dan perbuatan. Ini yang tampak. Yang tidak tampak, iman itu membenarkan dengan hati. Karena itu suka karena Allah dan tidak suka karena Allah termasuk kategori iman.
Nabi bersabda, "Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan Laa Ilaha Illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman." (HR Bukhari dan Muslim).
Bersumber dari Aisyah, ia berkata bahwa, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda kesempurnaan iman seseorang ditunjukkan dengan kebagusan akhlak dan sikap lemah lembut pada keluarga.” (HR Turmudzi). Hadits ini memberi informasi bahwa iman bukan hanya menyatakan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan melakukan dengan semua anggota badan, tapi iman itu harus terkejawantahkan pada ketinggian budi atau akhlak. Akhlak itu sendiri, menurut Ibnu Miskawaih (wafat 1030) dalam kitab Tahdzibul Akhlak, adalah respons spontan.
Dalam kitab Qathrul Ghaits, Syaikh Nawawi membagi spektrum iman itu menjadi tiga bagian. Pertama, iman taklidi, yakni meyakini keesaan Allah karena mengikuti perkataan ulama tanpa memiliki kemampuan untuk melakukan pembuktian. Iman ini harus terus-menerus dijaga karena mudah goyah oleh informasi yang membuat ragu. Iman seperti ini pula yang terkadang bertambah dan berkurang. Alquran menginformasikan mengenai hal ini, "Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (QS al-Fath/48: 4).
Iman taklidi dianggap sah kendati tidak mampu memberi bukti soal keimanan kepada Allah, rasul dan yang lain. Oleh karena itu orang yang beriman seperti ini harus terus mempelajari ilmu tauhid sehingga dapat memahami iman bukan dari perkataan ulama belaka. Dianggap berdosa orang yang sudah memahami ilmu tauhid tapi masih beriman secara taklid. Karena dianggap tidak hendak meningkatkan imannya. Inilah doa yang harus dipanjatkan untuk yang beriman secara taklid, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami." (QS Ali Imran/3: 8).
Kedua, iman hakiki atau iman sejati. Orang yang beriman secara hakiki ini dapat diilustrasikan dengan orang yang mengikat hatinya kepada keesaan Allah dengan ikatan yang teguh. Indikatornya, seperti dijelaskan Syaikh Nawawi, andai kata ada sekelompok orang berilmu berselisih pendapat mengenai keimanannya kepada Allah yang telah dia ikat sedemikian rupa, perselesihan orang berilmu itu tidak menggoyahkan hatinya. Artinya imannya tidak lagi dapat terpengaruh oleh perdebatan orang-orang berilmu, baik yang membenarkan model keimanannya atau yang mengoreksinya. Iman hakiki ini cenderung bertambah.
Kategori iman hakiki ini, diilustrasikan Allah, "Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa" (QS al-Baqarah/2: 177).
Ketiga, bagian iman yang terakhir, menurut Syaikh Nawawi adalah iman istibdali. Orang yang beriman secara istibdali adalah orang yang selalu mencari dalil atau bukti adanya makhluk sebagai bukti adanya Yang Maha Pencipta. Misalnya, secara logis, adanya suatu bangunan menunjukkan adanya yang mendirikan bangunan. Mustahil bangunan berdiri sendiri. Contoh lain, adanya kotoran unta menunjukkan adanya seekor unta. Inilah iman istibdali yang rasional. Kendati tidak selalu demikian, misalnya adanya panas selalu jadi dalil adanya api. Sebab dalam Alquran api bisa ditundukkan oleh Allah untuk jadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim.
Di dalam Alquran ada sekitar 167 ayat yang menjadi dalil adanya Allah. Misalnya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi. Sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan" (al-Baqarah/2: 164). Iman kita taklidi, hakiki ataukah istibdali?