REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekolah di lingkungan Muhammadiyah diharapkan menjadi pelopor atau percontohan menjadi sekolah rujukan yang terhindar intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan. Demikian harapan yang disampaikan oleh Manajer Program Maarif Institute, Pipit Aidul Fitriyana sebagai satu fasilitator pelatihan pencegahan intoleransi dan anti perundungan di Sekolah Muhammadiyah pada 2-3 September 2022 di Hotel Rodhita Banjarmasin.
“Kita akan belajar bagaimana caranya memperkuat kapasitas sekolah dan mengidentifikasi apa saja faktor yang menjadi ancaman, faktor kerentanan terhadap kekerasan seksual, intoleransi dan perundungan di sekolah agar tidak terjadi di lembaga pendidikan terutama di lingkungan Muhammadiyah," kata Pipit dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (4/9/2022).
Pipit mengatakan, guru merupakan garda terdepan untuk menghentikan intoleransi dan perundungan di sekolah. Maka kegiatan pelatihan bertujuan untuk menciptakan ketahanan dari intoleransi, kekerasan seksual dan perundungan berbasis di sekolah Muhammadiyah. Guru akan dibekali bagaimana mengenal tanda-tanda gejala perbuatan kekerasan, intoleransi dan perundungan di sekolah agar waspada dan bisa ditumbuhkan sikap baik dan perbuatan negatif itu bisa hilang.
Noor Ali salah satu peserta pelatihan pencegahan intoleransi dan anti perundungan, mengatakan, manfaat dari pelatihan guru lebih mudah menyelesaikan masalah. Misalnya bila terjadi perundungan di sekolah.
"Pelatihan ini memberikan tambahan pengetahuan yang tadinya sesuatu dianggap kebenaran ternyata bukan seperti itu, harus diklarifikasi kebenarannya sehingga lebih mudah terpecahkan masalahnya," ujar Noor.
Sementara itu Fastamik Lima Yuha sebagai Kepala SMK 2 Muhammadiyah 2 Banjarmasin, mengungkapkan, siswa di sekolahnya mayoritas laki-laki yang rawan bertindak anarkis. Sehingga hasil ikut pelatihan ini akan diterapkan di sekolah supaya lebih mudah mencari solusinya jika terjadi masalah.
Pelatihan ini merupakan aksi nyata Gerakan Nasional Revolusi Mental dalam pencegahan intoleransi dan anti perundungan bagi tenaga pendidik di sekolah Muhammadiyah. Kegiatan pelatihan ini merupakan program kerja sama Kemenko PMK RI dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Materi utama yang dipaparkan di antaranya bagaimana memahami gejala kekerasan yang terjadi di sekolah, mengenali bibit-bibit kekerasan dan bagaimana menumbuhkan perdamaian, hasutan kebencian di media sosial dan mengidentifikasi faktor yang menjadi ancaman terjadinya intoleransi dan perundungan di sekolah.
Khelmy Kalam tim fasilitator saat penutupan kegiatan ini berpesan kepada Pimpinan Muhammadiyah Kalimantan Selatan terutama Dikdasmen, apa yang ditulis pada lembar kertas kuis oleh semua peserta merupakan data penting untuk melihat bagaimana situasi sekolah di Muhammadiyah se-Kalimantan Selatan. Terutama masalah yang berkaitan dengan kekerasan dan bullying di sekolah.
"Bapak dan ibu guru sudah terbuka dan jujur menyampaikan masalah yang dihadapi di sekolah masing-masing di lembar kertas tulisan yang dikumpulkan kepada fasilitator sehingga Dikdasmen wilayah hingga daerah Kalimantan Selatan bisa diberikan solusi yang baik dan cepat," jelas Khelmy.
Kegiatan pelatihan ini melibatkan 80 orang tenaga pendidik seperti kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan guru di lingkungan sekolah/ madrasah Muhammadiyah Kota Banjarmasin.
Fuji E Permana