REPUBLIKA.CO.ID,ISLAMABAD – Mantan perdana menteri Pakistan Imran Khan telah didakwa oleh kepolisian negara tersebut dengan undang-undang anti-terorisme, Senin (22/8/2022). Dakwaan itu muncul setelah Khan mengancam kepala polisi Islamabad dan seorang hakim wanita di sana.
Khan menuduh kepolisian dan pengadilan di negaranya telah menyiksa ajudan dekatnya yang sebelumnya ditangkap. Dalam pidato publik pada Sabtu (20/8/2022) lalu, Khan mengecam kepala polisi Islamabad dan seorang hakim wanita di sana atas kasus tersebut. “Kalian juga harus bersiap-siap karena kami akan mengambil tindakan terhadap kalian,” ujar Khan dalam pidatonya.
Setelah pernyataannya itu, sejumlah pejabat Pakistan menuduh Khan melanggar undang-undang anti-terorisme. Hal itu karena Khan telah melayangkan ancaman terhadap pejabat negara. Saat kabar tentang dakwaan menyebar, ratusan pendukung Imran Khan segera berkumpul di luar kediamannya di Islamabad pada Ahad (21/8/2022). Mereka sesumbar akan “mengambil alih” ibu kota jika polisi mencoba menahan Khan.
Aparat kepolisian turut hadir di sekitar kediaman Khan. Namun mereka menyampaikan bahwa keberadaanya di sana bukan untuk menangkap sang mantan perdana menteri, tapi menjaga hukum dan ketertiban.
Pemerintahan Khan jatuh akibat kalah dalam mosi tidak percaya pada April lalu. Kelompok oposisi menuduh pemerintahan Khan telah melakukan salah kelola ekonomi. Akibatnya inflasi di sana melonjak dan nilai mata uang rupee Pakistan merosot. Mosi tidak percaya parlemen pada April lalu mengakhiri kekacauan politik selama berbulan-bulan dan krisis konstitusional yang mengharuskan Mahkamah Agung untuk turun tangan.
Sejak pemerintahannya jatuh, Khan telah menjadi kritikus vokal pemerintah. Militer Pakistan juga tak luput dari kritik-kritiknya. Dia kemudian mengemukakan tudingan bahwa Amerika Serikat (AS) berperan dalam penggulingannya. AS, militer Pakistan, dan pemerintahan Perdana Menteri Shehbaz Sharif telah membantah tuduhan Khan.