REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui KJRI Jeddah meminta otoritas Kerajaan Arab Saudi agar meninjau ulang rencana penerapan skema Bussines to Consumer (B to C) dalam penyelenggaraan ibadah umrah.
"Skema B to C juga tidak sejalan dengan regulasi di Indonesia yang mengharuskan pemberangkatan jamaah umrah melalui PPIU (penyelenggara perjalanan ibadah umrah) berizin," ujar Konsul Haji KJRI Jeddah Nasrullah Jasam dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, penyelenggaraan umrah dilakukan secara B to B (Bussines to Bussines) yang dikelola swasta. Visa diajukan PPIU ke Arab Saudi melalui vendor. Apabila memenuhi syarat maka calon jamaah umrah bisa berangkat.
Sementara skema B to C, modelnya langsung antara pihak terkait di Arab Saudi dengan konsumen/calon jamaah, tidak melalui PPIU dalam negeri. Pelaksanaan B to C ini dinilai riskan dan sulit untuk dilakukan pengawasan.
Dengan skema B to C, saat keberangkatan tidak ada yang bertanggung jawab jika terjadi masalah yang menimpa jamaah saat berada di Arab Saudi.
Selain masalah perizinan, kata Nasrullah, Kementerian Agama juga sudah mengatur bahwa PPIU harus memiliki standar layanan minimal dalam pemberangkatan jamaah umrah.
Adapun standar layanannya meliputi kesesuaian paket layanan dengan perjanjian tertulis dengan jamaah, transportasi pesawat maksimal satu kali transit, hotel di Mekkah maksimal 1.000 meter dari Masjidil Haram dan maksimal 700 meter dari Masjid Nabawi.
Kemudian, satu kamar maksimal diisi empat orang, konsumsi tiga kali sehari, dan ada pelayanan kesehatan dan pengurusan jamaah sakit dan wafat.
"Saat kedatangan dan kepulangan jamaah umrah, juga harus ada petugas muasasah yang ikut menjemput/memberangkatkan mereka di Bandara, termasuk mengurus tasrih jamaah umrah untuk masuk Raudah Masjid Nabawi," kata dia.