Senin 15 Aug 2022 18:43 WIB

Mengapa Orang Mudah Terjangkit Radikalisme? Ini Penjelasan Budayawan NU 

Radikalisme masih menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Diskusi publik bertema “Radikalisme dan Cita-cita Khilafah Perspektif Keamanan Nasional,” yang digelar Puskamnas Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Jakarta Selatan, Ahad (14/8/2022). Diskusi menyoroti radikalisme masih menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia
Foto: Dok Istimewa
Diskusi publik bertema “Radikalisme dan Cita-cita Khilafah Perspektif Keamanan Nasional,” yang digelar Puskamnas Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Jakarta Selatan, Ahad (14/8/2022). Diskusi menyoroti radikalisme masih menjadi ancaman bagi bangsa Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Budayawan yang juga mantan Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Labumi) PBNU, Dr Ngatawi Al-Zastrouw, mengungkapkan penyebab seseorang bisa terjangkit virus radikalisme. 

Menurut dia, orang bisa terjangkit virus radikalisme karena pemahaman agama yang salah dan terlalu skriptualis memahami teks-teks agama, serta faktor lainnya.  

Baca Juga

“Adanya faktor kemiskinan, ajakan, bodoh karena pendidikan yang buruk, dan lain-lain, menurut saya, kuncinya satu, yaitu kesalahpahaman dalam mamahami agama,” ujar Kang Zastrouw, begitu akrab disapa, saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema “Radikalisme dan Cita-cita Khilafah Perspektif Keamanan Nasional,” yang digelar Puskamnas Universitas Bhayangkara Jakarta Raya di Jakarta Selatan, Ahad (14/8/2022). 

Dia kemudian mencontohkan gembong teroris Dr Azhari yang diduga kuat menjadi dalang dan otak sejumlah aksi teror di Indonesia. “Peracik bom Dr Azhari itu orang kaya. Dokter Azhari itu juga pintar,” ucap Eks Juru Bicara Presiden Gus Dur ini. 

Dia mengatakan, radikalisme harus jadi musuh bersama karena paham yang berbahaya ini telah menjadi ancaman bagi bangsa dan negara. 

“Jadi berbahaya dan ini lintas teritori, maka ini jadi musuh bersama bagi nation state. Bukan apa-apa karena yang diancam kemanusiaan, peradaban dan tatanan sosial. Semuanya jadi rusak sehingga dia (radikalisme berbasis kekerasan) jadi alfasad atau perusak,” kata Kang Zastrouw. 

Dalam diskusi yang sama, Peneliti Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas), Indah Pangestu Amaritasari menjelaskan, serangan terorisme berbasis kekerasan di Indonesia mengalami tren kenaikan sejak 2014, meskipun angkanya tidak setinggi pada 2000. 

Kenaikan ini, menurut Indah, dipicu semakin gencarnya kampanye dan propaganda ISIS di media sosial seperti Youtube, Facebook dan Twitter sejak 2014 lalu.  

“Kalau kita lihat hubungan linimasa dengan pergerakan terorisme di Indonesia menarik karena ternyata gerakan terorisme tidak hanya bergerak dengan jaringan internasional, tetapi ada konteks dilakukan serangan mandiri,” ujar Indah. “Mengapa? Karena ISIS, tepatnya sejak 2014 menggunakan media sosial menyebarkan propagandanya,” imbuhnya. 

ISIS, lanjutnya Indah, dalam propagandanya terus menyerukan agar pengikutnya melakukan jihad global secara mandiri atau lonewolf, sehingga tren serangan terorisme menjadi naik. 

“Ini ada hubungannya dengan apa yang diminta ISIS untuk melakukan global jihad atau lone wolf di negara masing-masing,” ucap Indah. 

Karena itu, lanjut dia, penggunaan media sosial di kalangan Gen Z harus diwaspadai, jangan sampai justru menjadi perantara terjadinya radikalisasi. “Gen Z banyak mencari konten-konten agama secara instan,” jelas Indah. 

Baca juga: Prof Arief: Derajat Orang Beradab Lebih Utama Dibandingkan Orang Berpendidikan

Indah berharap, pencegahan terorisme dan radikalisme berbasis kekerasan di Indonesia dikakukan secara komprehensif. “Dalam arti mengadress semua isu termasuk memperhatikan hak asasi manusia (HAM) dan gender,” kata dia. 

Sementara itu, masih di forum yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, menekankan perlunya membuka ruang setiap perbedaan dan menjelaskan tentang demokrasi sebagai sistem pemerintahan. 

“Mereka (kelompok radikal) bisa hidup karena demokrasi. Ancaman keberadaan mereka adalah kematian demokrasi. Jadi, kalau demokrasi mati, korban pertama adalah mereka,” ujar dia. 

Ray mengatakan, pergantian kepemimpinan dari Nabi Muhammad ke para sahabat justru mencerminkan ciri-ciri demokrasi. “Kalau kita lihat empat khalifah itu saya kira mereka tidak sedang mendirikan khilafah, melainkan sedang mempromosikan cikal bakal demokrasi,” jelas Ray Rangkuti.     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement