REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Tujuan syariat kewajiban ibadah puasa bagi kaum Muslimin adalah agar mereka menjadi orang yang bertakwa. Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, pahala (reward) takwa dari Allah bukan hanya bagi orang per orangan yang sifatnya individual, tetapi juga bagi masyarakat (bangsa) yang bertakwa kepada Allah.
Sebagaimana firman-Nya dalam Al- Qur’an, Surat Al-A’raf, Ayat-96: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
“ Wujud nyata dari berkah Allah dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara tak lain adalah berupa terwujudnya sebuah negara yang maju, adil-makmur, berdaulat, dan diberkahi Allah SWT: Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Ini merupakan cita-cita kemerdekaan kita, bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945,” kata Prof Rokhmin Dahuri dalam Khutbah Idul Fitri 1 Syawal 1443 H di Masjid Al-Hikmah, Komplek Perumahan Vila Indah Pajajaran, Bogor, Senin (2/5).
Bahkan, kata Prof Rokhmin, aktualisasi hikmah puasa dan Idul Fitri dapat mengatasi permasalahan kemanusiaan. “Andaikan nilai-nilai (hikmah) ibadah puasa Ramadhan dan Idul Fitri itu diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian manusia maupun dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh dunia, maka permasalahan utama kemanusiaan di abad-21 ini berupa pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan gizi buruk, perang, kerusakan lingkungan, dan pemanasan global (global warming) niscaya bakal dapat diatasi secara tuntas,” ujar wakil Ketua Dewan Pakar MN-KAHMI itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Di awal khutbahnya, Prof Rokhmin membahas ciri-ciri orang bertakwa berdasarkan ayat 3 – 4 Surat Al-Baqarah, dan ayat 134 Surat Alim-Imran. “Ayat-ayat tersebut mengungkapkan empat sifat tauhid dan tiga sifat akhlak yang menjadi ciri-ciri orang bertakwa,” kata ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin itu.
Ia menguraikan, pada dimensi tauhid, keempat ciri (sifat, karakter) orang takwa adalah: (1) percaya (beriman) kepada yang gaib; (2) beriman kepada Alquran dan Kitab-Kitab Allah yang diturunkan sebelumnya (Zabur, Taurat, dan Injil yang asli); (3) beriman kepada kehidupan akhirat; dan (4) menegakkan salat. “Adapun pada dimensi akhlak, ketiga karakter yang dimaksud adalah pertama, gemar menyedekahkan sebagian hartanya dalam kondisi senang ataupun sulit,” papar penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan (2020 – 2024) itu.
Ciri akhlak kedua orang takwa adalah mampu menahan dan mengendalikan amarah. “Ciri akhlak ketiga orang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain,” tuturnya.
Para mufassir memfatwakan, bahwa takwa adalah mengerjakan semua perintah Allah, dan meninggalkan setiap larangan-Nya. Namun sayangnya, kata Prof Rokhmin, selama ini banyak di antara muslim/muslimah, memaknai perintah Allah itu hanya sekedar shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah mahdhah lainnya. “Padahal, Islam mengajarkan bahwa perintah Allah juga mencakup semua aspek yang terkait dengan muamalah (kesalehan sosial) seperti mengais rezeki secara halal; mengkonsumsi makanan yang halal lagi baik; hidup bersih; mencintai, menuntut, menguasai, dan mengaplikasikan Iptek; bekerja keras dan profesional; jujur; disiplin; menyayangi sesama; menghargai agama dan kepercayaan orang lain; merawat dan melestarikan llingkungan; menyingkirkan duri dari jalan; senyum; dan amal saleh lainnya,” paparnya.
Larangan pun, bukan hanya mencuri, berzina, minuman keras, judi, dan narkoba. Tetapi juga malas, bohong, zalim, dengki, marah, kikir, dan etos kerja serta akhlak buruk lainnya. “Karena pemahaman yang keliru tentang takwa itulah, di zaman kontemporer ini kita menyaksikan betapa kehidupan pribadi mayoritas individu Muslim menjadi seperti terbelah (a split personality),” kata Rokhmin.
Banyak sekali dijumpai, muslim atau muslimah yang nampak salat dan puasanya rajin, menunaikan ibadah haji dan umrahnya berkali-kali. Namun, etos kerja dan akhlaknya jauh dari Islami. ‘Dia kikir, tidak berbuat baik dengan tetangga, sering menggunjingkan kekurangan orang lain (ghibah), pemalas, sombong, pembohong, licik, kejam, dan akhlak buruk lainnya,” ujar Rokhmin.
Di akhir khutbahnya, Prof Rokhmin menegaskan, “Oleh sebab itu, iman dan taqwa (Imtaq), keikhlasan kita untuk berinfak, menolong dan menyayangi sesama serta jenis-jenis kesalehan sosial lainnya yang telah kita gapai selama menjalani ibadah Puasa Ramadhan, harus terus kita pelihara dan tingkatkan sepanjang hayat di kandung badan kita. Jangan sampai, setelah Idul Fitri, Imtaq kita memudar dan menjauh dari Allah.”