REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gerakan perempuan di Indonesia berdampak pada berbagai aspek, termasuk dalam pembangunan bangsa dan juga terciptanya demokrasi Indonesia. Gerakan-gerakan perempuan Indonesia ini menjadi pembahasan yang menarik dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah- ‘Aisyiyah yang digelar secara daring, Kamis (14/4/2022).
Sejumlah narasumber yang mengisi seminar dengan tajuk ‘Arsitektur Gerakan Perempuan Berkemajuan’, seperti Kurniawati Hastuti Dewi yang aktif sebagai reviewer jurnal, Direktur Rumah Kita Bersama, Lies Marcoes dan Sukendar yang juga pernah menjadi Komisioner Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Jawa Tengah.
Kurniawati Hastuti Dewi yang aktif sebagai reviewer jurnal baik nasional maupun internasional mengatakan, gerakan perempuan di Indonesia bukan hal yang baru. Bahkan, gerakan perempuan Indonesia sudah ada sejak era kolonial hingga di era demokrasi saat ini.
“Ada hak pilih, kuota gender sejak awal reformasi 2002, mewarnai elektoral politik, perlindungan negara dan kekerasan perempuan di ruang privat maupun publik,” jelas Kurniawati.
Organisasi keagamaan besar di Indonesia seperti Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah, lanjut dia, menyediakan landasan politik keagamaan yang kokoh bagi perempuan Muslim untuk menjadi pemimpin di politik lokal. Bahkan, hal tersebut tidak terjadi di negara tetangga seperti Malaysia karena corak keagamaannya yang berbeda.
Ia menuturkan, masyarakat Indonesia harus bersyukur dengan corak keagamaan Indonesia yang sangat progresif, yang mana berkontribusi untuk membuat wajah demokrasi semakin inklusif. “Dari riset saya di Jawa, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Barat, semakin banyak perempuan muslim yang muncul dari etnis yang berbeda dan latar belakang sosial yang berbeda,” katanya.
Namun, tantangannya terjadi pada kondisi politik elektoral yang biasanya terpecah. Seperti halnya gerakan perempuan pada pemilu 2019 yang mendorong agenda gender dan menjadi bagian capres.
“Prabowo-Sandi menggunakan The Power of Emak-emak dan Jokowi-Ma’ruf Amin menggunakan istilah Ibu Bangsa. Dan hati-hati pada pemilu 2024 karena mungkin ini juga diakibatkan oleh arsitektur elektoral politik yang memang mengharuskan keserentakan pemilu presiden dan pemilu DPR dan DPRD,” jelas dia.
Terpisah Direktur Rumah Kita Bersama, Lies Marcoes yang membawakan tema ‘Peta Gerakan Perempuan di Kalangan Masyarakat Kota’ menyatakan, adanya konvergensi atau penyatuan antara aktivis perempuan sekuler dan feminis Islam menjadi tonggak munculnya gerakan perempuan Islam di Indonesia.
Konvergensi itu, katanya, memungkinkan gerakan perempuan untuk berbicara baik yang ada di perdesaan maupun di perkotaan. Menurutnya, hal yang juga perlu dilakukan oleh ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan Islam yakni melalui pelatihan-pelatihan tentang gender. Selain itu, hal lain yang juga dapat dilakukan di antaranya membangun metodologi dengan menggandeng cara pandang-pandang internasional dalam hal ini HAM.
Sukendar yang juga pernah menjadi Komisioner Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak di Jawa Tengah mengungkapkan, esensi dari gerakan-gerakan perempuan merupakan dakwah untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan mensejahterakan masyarakat luas.
“Pijakan yang berbeda kalau kita Muhammadiyah- ‘Aisyiyah, pijakan dengan nilai-nilai Islam. Karena keadilan adalah nilai Islam yang harus diwujudkan, kesetaraan juga adalah hal yang harus diwujudkan,” kata Sukendar.