REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan, utamanya seperti kaum difabel, kaum terpinggirkan, mereka yang terpuruk dalam jurang kemiskinan, harus mendapat perhatian dan bantuan agar tidak menjadi lost generation (hilangnya generasi). Sebagai solusinya, semua pihak termasuk Muhammadiyah dapat memberikan peran dan kontribusi guna menekan angka lost generation tersebut.
Apalagi bagi Muhammadiyah, ujar Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Prof Muhadjir Effendy, mengurus orang yang kurang beruntung karena apapun alasannya, itu adalah menjadi misi utama Muhammadiyah. "Kalau kita merujuk pada apa yang dilakukan KH Ahmad Dahlan pada awal beliau merintis Muhammadiyah, misi yang beliau tekankan adalah memberikan pertolongan atau mengurus orang yang kurang beruntung," ujar Muhadjir.
Penegasan itu disampaikan Muhadjir saat memberikan sambutan dalam seminar pra-Muktamar Muhammadiyah-'Aisyiyah ke-48 di kampus Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Kamis (31/3/2022). Seminar yang digelar di Gedung Attauhid UM Surabaya ini mengusung tema "Mendampingi Kelompok Difabel, Marginal, Dhuafa, dan Mustadafin: Model Baru Pemberdayaan Sosial."
Seminar ini bertujuan untuk merumuskan solusi dalam upaya menciptakan kesejahteraan bagi kaum difabel, marginal, dhuafa, maupun mustadafin. Ia menilai, kegiatan yang digelar merupakan momentum yang sangat penting bagi segenap keluarga besar Muhammadiyah untuk mengontribusikan pemikiran dan gagasan bagi kemajuan bangsa.
Apalagi selama ini Muhammadiyah dikenal memiliki komitmen sosial kemasyarakatan yang sangat tinggi. Menko PMK mengungkapkan, tema yang diangkat dalam seminar ini sangat penting dan mendesak dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Karena pembangunan manusia dan kebudayaan merupakan suatu proses menyeluruh terhadap siklus kehidupan manusia, mulai dari periode prenatal atau sebelum lahir, hingga mereka memasuki usia lanjut.
Peran Muhammadiyah
Salah satu ranjau yang bisa menghambat perkembangan siklus kehidupan manusia menjadi SDM yang unggul adalah stunting. Oleh sebab itu Muhadjir meyakini, ketika Muhammadiyah mampu memberikan pendampingan terhadap kaum difabel, marginal, dhuafa, maupun mustadafin secara tidak langsung akan mengurangi angka stunting di Indonesia. Berkurangnya bayi stunting secara tidak langsung akan mendorong terciptanya SDM unggul.
Mengutip data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Indonesia memiliki angka prevalensi stunting yang tinggi yaitu 24,4 persen, artinya 1 dari 4 anak terkena stunting. Angka prevalensi tersebut masih di atas angka standar yang ditoleransi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Selain masalah stunting, lanjut Muhadjir, yang juga perlu mendapat perhatian saat ini adalah Indonesia memiliki bonus demografi. Bonus demografi adalah sebuah fenomena saat penduduk usia produktif jumlahnya sangat banyak. Ancamannya, kata dia, ketika bonus demografi itu tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, karena pemerintah gagal menyiapkan lapangan kerja.
Ketika bonus demografi tidak bisa dimanfaatkan dengan baik, bukan tidak mungkin akan mendorong peningkatan masyarakat miskin. Tentunya juga akan mempengaruhi jumlah masyarakat yang masuk dalam kelompok marginal, dhuafa, maupun mustadafin.
"Ketika banyak pengangguran bonus demografi tidak akan termanfaatkan dengan baik, ini yang harus kita hindari. Karena setelah bonus demografi selesai, Indonesia akan diikuti era penduduk menua," ujarnya.
"Harapan saya lewat seminar ini akan ada rumusan yang dapat diterapkan di Muhammadiyah dalam rangka membangun SDM Indonesia. Muhammadiyah harus ambil bagian dalam mengatasi masalah ini. Mereka harus kita bantu, karena di sana letak keluhuran Muhammadiyah yang selalu berpihak kepada mereka yang kurang beruntung," kata Muhadjir.
Pendampingan lansia
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Majelis Pelayanan Sosial (MPS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sularno menyatakan, pihaknya terus melakukan pendataan jumlah anak yatim piatu yang ditinggal orang tuanya akibat Covid-19. Pendampingan terhadap para yatim piatu tersebut disebutnya penting dalam upaya menghindarkan mereka dari jurang kemiskinan.
Terkait dengan keberadaan anak yatim di Indonesia, ia berharap supaya tidak hanya diberikan santunan tapi juga diberdayakan. Sularno menganalogikan, bahwa anak yatim piatu yang lemah tersebut harus diberi pancing bukan hanya ikan, supaya mereka bisa menyantuni diri mereka secara mandiri.
"Mereka harus tersentuh secara kemanusiaan. Itu penting sekali. Anak yatim dan miskin harus tumbuh dan berkembang dengan baik sebagai generasi penerus bangsa," kata dia.
Selain anak-anak yatim, yang juga menjadi perhatian MPS PP Muhammadiyah adalah kelompok lansia. Muhammadiyah dan 'Aisyiyah disebutnya perlu memiliki sarana dan prasarana berkaitan dengan upaya memberikan pendampingan terhadap lainsia.
Ia menyarankan pembentukan shelter lansia, yang nantinya ketika ada lansia yang tidak diperhatikan bisa dirawat di shelter lansia tersebut. Di shelter tersebut, lanjut Sularno, lansia yang miskin bisa diberdayakan dan lansia yang kaya bisa melakukan subsidi silang.
Sularno memaparkan data di lapangan, dimana banyak lansia yang diterlantarkan anaknya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang terusir dari rumahnya dan hidup di jalanan tanpa tujuan. Kelompok tersebut juga menurutnya perlu disentuh dan diberdayakan secara manusiawi.
Dirjen Jaminan Sosial pada Kementerian Sosial, Pepen Nazarudin mengaku, pihaknya telah menjalankan berbagai upaya dalam membangun kesejahteraan sosial. Di mana ada empat pilar yang telah dijalankan Kemensos untuk menyelesaikan problematikan sosial.
Empat pilar yang dimaksud adalah perlindungan sosial, jaminan sosial, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan sosial. "Pelayanan sosial di Kemensos itu tidak sekadar memberikan bantuan. Jadi untuk menangani saudara-saudara kita yang mengalami masalah sosial itu dengan empat pilar itu," ujarnya.