Jumat 11 Mar 2022 22:30 WIB

Aturan Beragama di Beberapa Negara

Turki dan Prancis cenderung melarang ruang publik bercampur baur dengan ruang privat.

Aturan Beragama di Beberapa Negara dalam Perspektif Prof Ahmet T Kuru (ilustrasi).
Foto: bc.edu
Aturan Beragama di Beberapa Negara dalam Perspektif Prof Ahmet T Kuru (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Gilang Ramadhan*

Dalam beberapa aspek, pengaturan agama di ruang publik sangat diperlukan, hal ini bertujuan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang memiliki peran ganda agar tidak bias; sebagai warga negara sekaligus umat beragama. Beberapa negara menerapkan sistem yang berbeda-beda untuk mengatur kehidupan warga negara yang ada di dalamnya, misalnya terdapat negara yang menerapkan sistem separation state of religion untuk memisahkan peran agama dalam kehidupan yang bersifat publik. Meski demikian, terdapat pula beberapa negara yang menerapkan hubungan rekognisi (recognition of the state from religion) untuk memberikan pengakuan sekaligus mempertahankan pelestarian agama atau nilai agama di dalam sistem hukum dan politiknya.

Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Baca Juga

Ahmet T Kuru, dalam buku berjudul Secularism and State Policies Toward Religion: The United States, France, and Turkey, Kuru mengulas terkait perbedaan regulasi negara terhadap agama yang terjadi pada negara-negara dengan basis sekular, seperti di Amerika Serikat (USA), Prancis, dan Turki. 

Kuru mencontohkan bagaimana regulasi yang dibuat oleh ketiga negara tersebut cenderung berbeda antara satu dan lainnya. Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Turki dan Prancis cenderung melarang ruang publik untuk bercampur baur dengan ruang-ruang privat seperti agama, visibilitas ruang publik di sana disterilkan dari urusan-urusan religius, hal ini tergambar misalnya dari pelarangan pemakain jilbab. Berbeda halnya dengan Amerika, negara tersebut menerapkan regulasi yang lebih toleran dan pasif terhadap agama, dibanding dengan Turki dan Prancis.

Meski sama-sama sekular, Kuru mengkategorisasikan ketiga negara tersebut pada dua kategori seperti yang telah dicontohkan sebelumnya, yaitu sekularisasi pasif dan asertif. Prancis dan Turki masuk dalam kategori asertif. Kasus di Turki misalnya, dominasi kelompok The Kemalis yang memiliki kecenderungan asertif sering berhadapan dengan kelompok pro-Islam konservatif. Amerika menjadi satu-satunya negara yang didominasi oleh sekularisme pasif. Meski demikian, Kuru mencatat bahwa sekularisme pasif yang terdapat di Amerika tampak berwajah dualis; satu sisi dia akomodatif dan pada sisi yang lain separatis. 

Kuru menilai, adanya perbedaan pasif dan asertif merupakan akibat dari pembentukan dan diseminasi sejarah awal penerapan sistem sekularisme pada masing-masing negara tersebut. Untuk membuktikan hal itu, Kuru menunjukkan beberapa bukti relevan yang berhubungan langsung dengan ketiga negara tersebut.

Penerapan sekularisme pasif di Amerika Serikat muncul sebagai hasil akhir dari konsensus pergolakan antara kelompok rasionalis yang tidak anti-agama dan evangelis yang terbuka untuk gagasan pemisahan gereja dan negara. Pergolakan antara kaum Kemalis dan Islamis di Turki serta konflik antara Gereja Katolik dengan elit republik menjadi stimulasi awal terbentuknya sekularisme pasif yang terjadi di Turki dan Prancis.

Kaum Republikan dan Kemalis sama-sama menantang peran agama di ranah publik dengan berhadapan dengan kelompok Gereja Katolik dan Islamis memandang kebangkitan rezim kuno sebagai ancaman besar bagi sistem sekuler yang dirintisnya.

Sementara, negara sekuler berbasis imigran seperti Amerika tidak mengalami intervensi semacam demikian. Meski Amerika memiliki heteroginitas agama yang beragam, yang mendorong denominasi Protestan untuk memisahkan peran Geraja dan negara. Amerika menempatkan alternatif demikian, sebagai opsi kedua dalam sistemnya. Berbeda halnya dengan negara Prancis dan Turki, Katolik dan Muslim sudah memiliki hegemoni yang mapan, karenanya sistem pemisahan negara terhadap agama (separation state of religion) tidak berdampak apa-apa setelah kemunculan dan dominasi keduanya.

Dominasi jenis sekuler dari Prancis dan Turki menurut Kuru turut berpengaruh terhadap perjuangan ideologis dari kedua negara tersebut. Untuk membuktikan hal itu, Kuru memberikan beberapa contoh relevan yang salah satunya bersinggungan dengan asal mula dari model-model sekularisme. Dalam catatan Kuru, Prancis dan Turki telah melakukan beberapa langkah preventif untuk mendelegitimasi kelompok lawan agama mereka dalam jangka waktu lebih satu abad, Prancis dan Turki mengalegorikan kubu lawan sebagai kubu fanatik agama; tégriste di Prancis dan irticacı (atau mürteci) di Turki.

Lain halnya dengan Amerika, mereka tidak pernah menggunakan term fundamentalis atau istilah pejoratif lainnya untuk mendefinisikan aktivitas yang bersifat illegal atau berpotensi untuk memberikan ancaman terhadap keamanan. Dalam kategori ini, Amerika tidak terlalu membutuhkan model sekularisme dalam bentuk yang asertif seperti Prancis dan Turki.

Hal lain yang turut disinggung Kuru adalah perihal orientasi sekularisasi dari ketiga negara tersebut. Kuru menyebut, di Prancis dan Turki model sekularisasinya diorientasikan untuk mendelegitimasi tradisi dari agama tertentu. Sebagai contoh, dalam persoalan pernikahan agama Prancis dan Turki menganggap hal tersebut sebagai kejahatan, jika tidak diawali dengan proses perkawinan sipil yang terdaftar pada administrasi negara.

Praktek-praktek demikian tentu tidak ditemukan di Amerika, mereka membebaskan hal itu, bahkan Amerika memperbolehkan bagi pemuka agama untuk melakukan perkawinan sipil dan agama sekaligus. Masih banyak contoh lain yang diberikan Kuru untuk menjelaskan diferensiasi model sekularisasi Amerika dengan Prancis dan Turki, mulai dari institusianolisasi otoritas negara seperti Diyanet Turki dan lain sebagainya. 

Meski demikian, Kuru menaruh harapan bahwa terdapat kemungkinan aka nada perubahan dari sekularisme asertif menjadi pasif, utamanya dalam aspek ideologi dominan. Bagi Kuru, warisan dari rezim kuno dalam waktu tertentu dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu. Perjuangan ideologis temporer masih bersifat cair dan dinamis. Pembuat kebijakan dari masing-masing negara dapat saja berubah, sebab ia bukanlah makhluk robotik yang diciptakan bebas dari alur historisitasnya. Karenanya Kuru menaruh harapan atas perubahan-perubahan tersebut melalui medium tawarannya, yaitu sekolah dan publikasi.

Dengan dua jalur alternatif tersebut Kuru meyakini bahwa politik aktor di suatu negara dapat menggantikan dominasi sekularisme asertif dengan pasif atau bahkan bisa sebaliknya. Akan tetapi Kuru memberikan perhatian agar hal itu direncanakan secara sistematis dan terstruktur serta peran agensi yang berkomitmen di dalamnya.

Dalam konteks masyarakat secara umum, penerapan sekularisme tersebut mendapat tantangan dari pelbagai sisi, yang utamanya bermuara pada absennya pengecualian atas esensi politik. Sekularisme model asertif sangat memungkinkan ketidakcocokannya dengan agama apa pun yang memiliki dominasi historis dalam ruang publik. Penolakan dari kelompok Katolik konservatif di Prancis memiliki kemiripan kasus dengan peristiwa-peristiwa penolakan yang terjadi pada kelompok muslim di Turki. 

Semua kasus yang terjadi pada negara-negara sekularis lain, menurut Kuru bermiuara pada kasus-kasus yang setara, yaitu dalam persoalan netralitas negara terhadap kehidupan beragama warga negara serta kebebasan beragama. Untuk kasus negara sekularis asertif seperti Turki dan Prancis telah memiliki proyek rekayasa sosial untuk mengecualikan perihal peran agama dalam kehidupan ruang publik, dan cara demikian telah menyebabkan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. 

*Center for Religious and Cross-Cultural Studies, UGM

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement