REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrurrozi mengatakan pernikahan perlu dibangun di atas kesamaan akidah. Hal ini agar nantinya tumbuh anak-anak yang baik dalam rumah tangga seiman.
"Pernikahan dibangun untuk ketenangan dan ketentraman sepanjang hayat, diperlukan kesamaan akidah keyakinan agar kemudian tumbuh anak-anak yang baik dalam rumah tangga yang seiman," kata KH yang akrab disapa Gus Fahrur, Rabu (9/3/2022).
"Dikhawatirkan pernikahan beda agama akan mengubah akidah. Lewat pernikahan seseorang akan mudah dipengaruhi imannya, apalagi bagi seorang perempuan yang dalam nafkah suaminya," lanjut Gus Fahrur.
Sebelumnya, viral terjadi pernikahan antara seorang Muslimah dengan pria non-Muslim. Pernikahan tersebut terlihat berlangsung di dalam sebuah gereja.
"Pernikahan Muslimah dengan lelaki non-Muslim tidak diperbolehkan berdasarkan surat Albaqarah ayat 221 yang artinya: Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Dan juga Surat al Mumtahanah ayat 10," ujar Gus Fahrur.
Gus Fahrur mengatakan secara fiqih pernikahan antara Muslimah dan pria non-Muslim tidak sah. Perkawinan Muslimah harus dengan suami yang seiman, dan pihak mempelai putra harus masuk islam lebih dahulu.
Sementara itu, menurut Gus Fahrur, anak yang dilahirkan karena perkawinan beda agama menjadi tidak sah atau dianggap anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini berdasarkan pada Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan. "Karena perkawinan orang tua tidak sah menurut hukum agama dan perkawinan," kata dia.
Adapun Undang-undang No. 1 tahun 1974. pada pasal 2 ayat (1) mengatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 44 seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) KH Zainut Tauhid Sa'adi mengatakan sudah berkoordinasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Tengah dan memastikan pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). "Peristiwa pernikahan beda agama yang viral di media sosial itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA," kata Kiai Zainut kepada Republika, Rabu (9/3/2022).
Zainut menjelaskan bahwa sampai saat ini regulasi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 2 Ayat 1 dijelaskan perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
"Pasal ini bahkan pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2014, dan sudah keluar putusan MK yang menolak judicial review tersebut," ujar Zainut.
Kiai Zainut yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menegaskan, ketentuan Pasal 2 Ayat 1 pada UU Perkawinan masih berlaku. Sesuai ketentuan tersebut, ia mengajak masyarakat melihat persoalan pernikahan ini dengan mengembalikannya pada ketentuan hukum yang berlaku.
Ia menegaskan perkawinan adalah peristiwa sakral yang tidak hanya dinilai sah secara administrasi negara. Tetapi juga sah menurut ketentuan hukum agama.
"Bahkan di Islam, jelas perkawinan itu adalah ibadah, tidak bisa dilepas dari agama," katanya.