Kaum Muslim sering menanggung beban rasa was-was rasis, terutama setelah Taliban mengeksekusi dua misionaris Korea Selatan pada 2007. Kedatangan 500 pencari suaka Yaman di pulau Jeju pada 2018 memicu rangkaian protes anti-imigran terorganisir pertama di Korea Selatan.
Pemerintah menanggapi kekhawatiran bahwa para pencari suaka menyembunyikan teroris dengan melarang mereka meninggalkan pulau itu.
“Aturan mereka tentang jilbab saja sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka tidak boleh menginjakkan kaki di negara kita,” kata Lee Hyung-oh, pemimpin Refugee Out, jaringan anti-imigrasi nasional yang menentang masjid di Daegu.
Banyak orang Korea menjelaskan sikap mereka terhadap orang asing dengan mengutip sejarah, negara kecil mereka telah bertahan dari invasi dan pendudukan selama berabad-abad, mempertahankan wilayah, bahasa, dan identitas etnisnya. Mereka yang menentang masjid dan imigrasi secara lebih luas sering memperingatkan bahwa masuknya orang asing akan mengancam darah murni dan homogenitas etnis Korea Selatan.
“Kami mungkin terlihat eksklusif, tetapi itu telah menjadikan kami apa adanya, mengkonsolidasikan kami sebagai bangsa untuk bertahan dari perang, pemerintahan kolonial dan krisis keuangan dan mencapai pembangunan ekonomi sambil berbicara dalam bahasa yang sama, memikirkan pemikiran yang sama,” ujar Lee.
Lee menolak warga Korea Selatan mengalami xenofobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing). Mereka hanya tidak ingin bercampur dengan orang lain.