Jumat 25 Feb 2022 13:45 WIB

Ahli: Kriteria Mabims Belum Ideal

Terdapat beberapa persoalan ilmiah dalam penentuan kriteria Mabims.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Agung Sasongko
hisab rukyat (ilustrasi).
Foto: ANTARA FOTO/Makna Zaezar
hisab rukyat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Direktur The Ekliptika Institute yang juga Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), Muh. Ma’rufin Sudibyo mengatakan sejauh ini PBNU masih menyusun pendapat tentang kriteria baru dalam penentuan awal bulan Hijriah mulai tahun 2022 dengan mengacu  hasil kesepakatan Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) pada 2021. Kendati demikian, sebagai ahli ia berpendapat kriteria Mabims belum ideal untuk digunakan. 

"Secara pribadi saya melihat kriteria MABIMS baru (atau yang biasa disebut juga Neo-MABIMS) belum merupakan titik temu yang ideal dalam khasanah unifikasi Kalender Hijriah di Indonesia," kata Ma'rufin kepada Republika,co.id pada Jumat (25/2).

Baca Juga

Ia mengaku bahwa dirinya mengikuti perkembangan pembentukan kriteria tersebut sedari awal dipaparkan pada akhir 2009 di satu pertemuan ilmiah yang diselenggarakan Observatorium Bosscha, Lembang. Menurutnya terdapat beberapa persoalan ilmiah dalam penentuan kriteria Mabims.

"Dari sisi ilmiah, pembentukan kriteria ini agak ‘aneh’ dan kurang berterima karena semata menggabungkan dua parameter minimal yang bersifat saling bebas dari masing-masing peneliti terkait. Sehingga mengesankan terjadinya talfiq falak. Namun pada saat ini, inilah titik kompromi yang bisa diraih. Sehingga menghasilkan kriteria Neo-MABIMS dengan parameter tinggi hilal minimal 3º dan elongasi hilal minimal 6,4º yang terjadi pada sebagian (sebagian kecil) wilayah Indonesia," katanya.

Selain itu Ma'rufin menjelaskan permasalahan berikut yang perlu dielaborasi dan dicari pemecahannya adalah bagaimana kedudukan rukyatul hilal. Ia mengatakan bahwa survei keberagaman Muslim di Indonesia pada tahun 2016 menunjukkan 64 % Muslim Indonesia mendasarkan pada rukyatul hilal untuk hari-hari besar Islam (khususnya awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha). Proporsi itu setara dengan 167 juta jiwa berdasarkan statistik kependudukan 2016. Ini populasi yang cukup besar dan terlalu riskan jika dinafikan begitu saja di bawah preteks modernitas. 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement