Khawatir eskalasi ketegangan lebih lanjut, pemerintah mengumumkan penutupan segera semua sekolah dan perguruan tinggi di negara bagian itu.
Ketua Menteri, Basavaraj S Bommai, dalam pernyataannya mengimbau seluruh siswa, guru dan manajemen sekolah meupun perguruan tinggi, serta masyarakat Karnataka, untuk menjaga perdamaian dan kerukunan.
"Saya telah memerintahkan penutupan semua sekolah menengah dan perguruan tinggi selama tiga hari ke depan. Semua pihak terkait diminta untuk bekerja sama,” tulisnya.
Ketika mendengar protes atas penggunaan jilbab di perguruan tinggi, pengadilan tinggi provinsi mengeluarkan perintah sementara yang menyerukan pembukaan kembali sekolah.
Namun, mereka bersikeras siswa tidak mengenakan pakaian keagamaan, sampai keputusan akhir diambil. Perintah itu semakin membuat marah mahasiswa yang memprotes dan aktivis hak asasi manusia di seluruh negeri.
Seorang aktivis hak-hak Muslim dan Sekretaris Nasional Gerakan Persaudaraan, Afreen Fatima, menyebut kejadian ini sebagai perilaku apartheid. Ia menilai ada segregasi institusional yang terjadi terhadap Muslim, terutama Muslim yang taat.
"Sekarang, ada laporan mahasiswa Muslim yang mengenakan hijab mendapatkan pembelajaran di ruang kelas yang terpisah,” kata Fatima. Hal ini merujuk pada insiden sebuah perguruan tinggi di Karnataka yang mengizinkan masuk siswa berhijab, tetapi di ruang kelas yang berbeda.
Baca juga: Kisah Puji dan Agus, Suami Istri yang Bersama-sama Masuk Islam
Dia melihat larangan jilbab di lembaga pendidikan sebagai bagian dari rencana yang lebih besar oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) sayap kanan yang berkuasa, untuk menjadikan Muslim sebagai "warga kelas dua" di negara itu.
BJP dan RSS disebut mengambil inspirasi dari Nazi Jerman. Kala itu, orang Yahudi dipisahkan, diisolasi dan dianiaya. Lebih dari 130 kelompok feminis dan demokratis di 15 negara bagian India telah menyatakan solidaritas dengan para mahasiswa.