REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Lembaga Dakwah Khusus PP Muhamammadiyah, Faozan Amar, menyebut pihaknya kini mulai mencermati isu soal haji melalui media daring atau haji metaverse. Melalui kajiannya soal haji metaverse, ada empat hal yang harus dicermati.
"Pertama, ibadah haji merupakan ibadah yang memadukan unsur maliyah (harta), ruhaniah (jiwa) dan jasmaniah (fisik). Karena itu, syarat melaksanakan ibadah haji adalah istatha’ah, yaitu mampu (QS. Ali Imran: 97),'' kata Faozan Amar di Jakarta, Jumat (11/02/2022).
Kedua, haji itu mempunyai syarat mampu (istatha’ah). Ini dimaknai dengan sehat jasmani dan ruhani sehingga bisa menjalankan ibadah haji dengan sempurna. Mampu secara biaya untuk sampai ke Makkah dan Madinah. Mampu secara kuota, yakni mendapatkan jatah waktu berhaji. Mampu secara ilmu sehingga dapat menjalankan ibadah sesuai tuntunan Alquran dan sunah.
"Selanjutnya dilaksanakan dalam kondisi aman, baik dalam perjalanan maupun saat beribadah. Misalnya, dari perang, perampokan, atau wabah penyakit, seperti terhindar dari virus Covid-19."
Ketiga, ibadah haji merupakan ibadah yang telah ditentukan waktu dan tempatnya, yakni pada bulan Dzulhijjah di kota suci Makkah dan Madinah sehingga tidak bisa diganti dengan waktu dan tempat lain. Sebab di kedua tempat tersebut terdapat tempat untuk miqat, wukuf di Arafah, sai, melempar jumrah, dan tawaf mengelilingi Ka'bah yang tidak bisa tergantikan oleh tempat lain, sesuai dengan syariat ibadah haji.
"Maka karena itu, haji di metaverse tidak sah, sebab tidak memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan dalam syariat haji. Ibadah mahdhah tidak dapat dipindahkan ke dunia fiksi. Sehingga haji tidak sah dilakukan secara virtual di metaverse. Namun, jika haji metaverse dimaksud sebagai sarana wisata religi dan pembelajaran seperti anak kecil yang belajar manasik haji, maka boleh saja. Sehingga pada saat melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya, diharapkan telah dapat memahaminya dengan baik dan benar," katanya menegaskan.