REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kematian pemimpin organisasi militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terbaru Abu Ibrahim al-Hashimi al-Qurayshi di Suriah, yang jauh dari jantung kebangkitan kelompok teror di Irak merupakan pukulan bagi organisasi itu.
Namun, pengendalian wilayah kedua negara yaitu Irak dan Suriah masih membayangi seluruh wilayah.
Dikutip dari laman The Guardian, Senin (7/2/2022), kejadian sejak saat itu mengalami pergeseran yang sangat dramatis.
ISIS tidak dapat menguasai tanah, penjaganya dimusnahkan, keuangannya diporakporandakan, dan arsipnya terkuras.
Namun, organisasi ini masih mengintai di tengah-tengah puing-puing kedua negara, dimana perlahan namun pasti mengacaukan.
Bagi banyak orang yang mempelajari ISIS, pembobolan penjara bulan lalu di timur laut Suriah tampaknya menjadi pertanda akan datangnya sesuatu.
Lusinan ekstremis dapat merencanakan dan berkumpul di jantung salah satu kota terbesar di timur laut negara itu dan melakukan upaya berani untuk membebaskan hingga 2.000 orang di dalamnya.
Pertempuran untuk merebut kembali penjara berkecamuk selama enam hari dan akhirnya dikembalikan ke kendali pasukan Kurdi yang menjalankan provinsi, mempersempit kesenjangan antara bencana dan kemenangan.
Pertempuran itu merupakan pertama kalinya sejak ISIS menyerah di Kota Baghuz, Suriah pada Maret 2019 dimana sisa-sisa kehidupan organisasi telah terungkap secara massal. Mereka masih dapat melakukan operasi besar di pusat utama yang merupakan kejutan buat sebagian orang.
Baca juga: Kemenag Terbitkan Aturan Rumah Ibadah Antisipasi Omicron, Ini Detailnya
Tetapi tidak bagi para pemimpun Kurdi yang telah memperingatkan sejak mewarisi ribuan tahanan dari era ISIS dan puluhan ribu lagi anggota keluarganya dari kota-kota dan desa di kedua sisi perbatasan Irak-Suriah.
Hal ini merupakan pusat kekhalifahan yang diproklamirkan akhir tahun lalu mengungkapkan komunitas yang rusak dan miskin masih belum berdamai setelah hampir satu dekade terjadi pergolakan.